>
Headlines News :
Home » , » Psikolog: Caleg Stres karena Tak Realistis Mengukur Kemampuan Diri

Psikolog: Caleg Stres karena Tak Realistis Mengukur Kemampuan Diri

Written By Unknown on Jumat, 11 April 2014 | 16.50.00

Ilustrasi (detik)

Jurnalsulteng.com - Penghitungan suara belum selesai, namun  para calon anggota legislatif (caleg) yang stres karena kalah suara mulai bermunculan di berbagai daerah. Mereka tidak bisa mengantisipasi semua risiko yang dilakukannya dalam pencalegan ini. 

Pakar Psikologi Politik Universitas Indonesia (UI), Hamdi Muluk menilai, mereka yang maju sebagai caleg harusnya berjiwa besar untuk menerima kekalahan. Namun faktanya, masih banyak yang tak bisa mengukur kemampuannya sendiri. Mereka mudah tergiur oleh iming-iming dari partai politik sehingga tak berpikir realistis.

“Kalaupun mereka mengeluarkan biaya banyak, bisa menang atau tidak? Biaya itu apakah bisa ditanggung banyak orang yang mensponsori? Tapi banyak yang tak realistis. Mereka jor-joran tapi kesempatan menangnya tipis. Parahnya, uang yang digunakan ternyata malah mengganggu keuangan rumah tangga. Kalau kalah, utang di mana-mana, dia tak mampu mengatasi masalah ini jadilah stres,” tambahnya.

Hanya Dianggap Pekerjaan

Menurut Hamdi, banyaknya caleg yang tak kuat mental juga disebabkan oleh sistem pemilihan yang salah. Sistem proporsional terbuka membuat para caleg menganggap masuk DPR sebagai bentuk mengisi lahan pekerjaan. Padahal menjadi legislator adalah bentuk pengabdian pada negara.

“Menjadi legislator adalah orang-orang yang sudah selesai dengan dirinya. Tidak lagi memikirkan soal perut. Dia sudah mapan dan ingin melakukan sesuatu untuk negeri ini,” ujarnya.

Sistem proporsional membuat para caleg masuk dalam gelanggang tanpa ada saringan. Mereka harus bersaing keras dan kemungkinan menangnya juga kecil. Ujung-ujungnya hanya mengandalkan uang untuk meraup suara. Apalagi banyak caleg yang tidak mengakar di masyarakat. Makin tidak terkenal, makin besar pula uang yang dikeluarkan untuk promosi.

Hamdi mengusulkan agar pemilu memakai sistem distrik. Partai hanya bisa mengajukan satu calon. Sehingga masing-masing parpol diwajibkan memilih caleg yang berkualitas dan siap dalam segala hal.

Sistem ini didasarkan pada lokasi daerah pemilihan, bukan berdasarkan jumlah penduduk. Dari semua calon, hanya ada satu pemenang.

Dengan begitu, daerah yang sedikit penduduknya memiliki wakil yang sama dengan daerah yang banyak penduduknya, dan tentu saja banyak suara terbuang. Karena wakil yang akan dipilih adalah orangnya langsung, maka pemilih bisa akrab dengan wakilnya.

Keluarga jangan Ikut Stres

Hamdi Muluk mengatakan stres bisa terjadi pada caleg baru atau pun yang kembali mencalonkan diri. Biasanya parpol akan lepas tangan jika calegnya stres. Akhirnya yang bisa menyadarkan caleg yang stres adalah keluarga dekat.

“Ada sanak famili yang peduli. Caleg itu dibujuk, dimasukkan ke rumah sakit jiwa sambil melakukan terapi sosial. Langkah itu paling mempan. Dikembalikan lagi semangat hidupnya. Tapi tetap saja utang-utangnya harus dibayar.”

Namun tak menutup kemungkinan stres itu ‘menular’ ke anggota keluarga yang lain. Karena itu, sejak dari proses pencalonan, calon anggota legislatif dan keluarganya harus rasional dalam mencari dana dan menggunakan hartanya untuk berkampanye.

Rabu lalu, sebanyak 186,6 juta warga negara Indonesia dan dua juta lainnya di luar negeri memilih calon anggota legislatif yang akan duduk di DPR, DPD dan DPRD.

Sebanyak 6.608 calon anggota legislatif dari 12 partai politik akan bersaing untuk mendapatkan 560 kursi di DPR.***


sumber:portalkbr
Share this article :

0 komentar:

Jurnalsulteng.com on Facebook

 
Developed by : Darmanto.com
Copyright © 2016. JURNAL SULTENG - Tristar Mediatama - All Rights Reserved
Template by Creating Website
Proudly powered by Blogger