>
Headlines News :
Home » , » Tembus Level Terendah Pasca 1998, 'Bahaya' Psikologis Rupiah

Tembus Level Terendah Pasca 1998, 'Bahaya' Psikologis Rupiah

Written By Unknown on Jumat, 24 Juli 2015 | 21.54.00

Ilustrasi
Jakarta, Jurnalsulteng.com- Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) kembali menyentuh level terlemah pasca krisis 1998. Secara psikologis, pelemahan ini dinilai bakal menjalar ke semua sektor ekonomi karena bakal berpengaruh terhadap besaran impor dan pada akhirnya kembali menekan daya beli masyarakat

Bank Indonesia menetapkan kurs tengah rupiah di level 13.448 per dolar AS pada Jumat (24/7/2015), melemah 0,40 persen dari hari sebelumnya. Sementara itu, di pasar uang, rupiah sempat bertengger di level 13.483 hingga 17.00 WIB. Level ini merupakan yang terendah pasca krisis 1998.  .

Ekonom Universitas Indonesia Lana Soelistianingsih mengatakan, secara psikologis pelemahan rupiah memang sudah menjalar. Menurutnya, pemerintah harus berhati-hati karena secara psikologis bakal sangat mengganggu roda perekonomian.

“Apalagi ketergantungan impor kita cukup tinggi, hal itu ditambah daya beli yang turun. Semua hal tersebut membuat kinerja perusahaan melemah. Karena nanti biaya impor naik, dan daya beli juga turun,” ujarnya ketika dihubungi CNN Indonesia, Jumat (24/7/2015).

Terkait kebijakan pemerintah untuk mengendalikan pelemahan rupiah, ia menilai publik tidak bisa berharap terlalu banyak kepada Bank Indonesia (BI). Pasalnya, intervensi yang sering dilakukan BI untuk menekan pelemahan melalui skema 'membakar devisa' dinilai berbahaya.

“Kita tidak bisa berharap hanya pada BI, karena memang secara global dolar AS sedang menguat. BI malah perlu manajemen devisa. Jangan sampe malah membuang-buang cadangan devisa,” jelasnya.

Di sisi lain, ia mengaku adanya kewajiban transaksi dengan rupiah dan aturan lindung nilai (hedging) bisa memberikan perbaikan kinerja rupiah, kendati tidak dalam waktu dekat. Ia menambahkan sebenarnya ada opsi lain yang bisa dilakukan, namun terlalu berbahaya jika dilakukan saat ini.

“Sebenarnya fasilitas currency swap bisa digunakan, tapi berbahaya. Karena hal itu bisa membuat kekhawatiran pasar dan menambah spekulasi pasar. Pasar bisa menilai kondisi Indonesia terlampu buruk nanti. Fasilitas itu sebaiknya digunakan waktu kondisi normal saja,” jelasnya.

Lebih lanjut, dari sisi global, Lana menilai rencana penaikan suku bunga AS oleh bank sentral negeri Paman Sam (The Fed) masih menjadi momok pasar uang dunia. Namun, Lana menilai jika terlampau berbahaya bagi kondisi ekonomi global, bisa jadi penaikan tersebut ditunda hingga tahun depan.

“Bisa jadi penaikan Fed Rate ditunda. Masalahnya, jika dolar AS terlalu kuat, maka perusahaan Amerika yang banyak menjual produk ke luar negeri juga ikut terkena imbas karena harganya jadi terlalu mahal,” ujarnya.

Analis PT Platon Niaga Berjangka Lukman Leong mengatakan kondisi internal Indonesia merupakan yang paling rumit jika dibandingkan dengan negara lain yang mata uangnya juga melemah terhadap dolar AS. Ia menilai, opsi pemangkasan suku bunga bisa digunakan oleh pemerintah saat ini.

“Saya kira negara lain sudah melakukan pemangkasan suku bunga. Peluang itu masih besar. Suku bunga perlu diturunkan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi,” jelasnya.

Pasalnya, ia menilai intervensi BI dengan melakukan pembelian dolar menggunakan cadangan devisa tidak terlalu mumpuni pada saat ini. Maka lebih baik melakukan kebijakan yang baik bagi fundamental ekonomi dalam negeri.

“Saat ini pasar menunggu besaran produk domestik bruto (PDB) kuartal II, yang diperkirakan tidak jauh berbeda dengan kuartal I. Hingga pengumuman itu, rupiah masih bisa terus melemah. Bahkan mungkin saja mencapai 13.500 per dolar AS,” katanya.[***]

Sumber; CNNIndonesia

Share this article :

0 komentar:

Jurnalsulteng.com on Facebook

 
Developed by : Darmanto.com
Copyright © 2016. JURNAL SULTENG - Tristar Mediatama - All Rights Reserved
Template by Creating Website
Proudly powered by Blogger