>
Headlines News :
Home » » Kontroversi Otonomi Daerah dan Kedaulatan Tambang Migas

Kontroversi Otonomi Daerah dan Kedaulatan Tambang Migas

Written By Unknown on Rabu, 19 November 2014 | 07.39.00

Oleh: Agussalim Faisal Said, SH

Agussalim Faisal Said

HIRUK Pikuk Pemilu 2014 baru usai, Indonesia memiliki Presiden baru bersama Wakilnya. Ada yang menarik bahwa  menjadi salah satu hal baru dalam penetapan Undang-Undang Pemerintahan Daerah (UU Pemda) yang baru. Posisi gubernur semakin kuat di depan bupati/wali kota. Namun, hal itu sekaligus menjadi ujian baru relasi antara pemimpin daerah tingkat I dan tingkat II.

Di tengah hiruk pikuk politik saat ini, Masyarakat diresahkan oleh kenaikan BBM. Disana sini aksi protes bermunculan, bahkan aktivis dan kru media meliput aksi mendapat hantaman keras dari pihak keamanan. Sungguh suatu gambaran yang tragis, dan apa penyebabnya ? Menarik menyimak satu sisi dari kenaikan BBM, bahwa seolah-olah soal BBM tidak punya dampak asal usul dari Imperialisme dan Kapitalisme Birokrat di tanah air Indonesia. Apalagi modal asing sektor pertambangan, terus bekerja menjadi sindikasi politik di parlemen dan eksekutif serta para elit partai menjadi bagian utama terciptakannya Mafia Minyak dan Gas (MIGAS). Polanya sistemik, dan nyaris tidak menjadi kepala pemberitaan. Mereka bekerja untuk mengamankan kepentingan gurita bisnis mereka di Indonesia. Bagaimana menyikapinya?

Larangan Ekspor

Sejak tanggal 12 Januari 2014, merujuk Undang-Undang Mineral dan Batubara (Minerba) Nomor 4 Tahun 2009, semua industri pertambangan dilarang ekspor. Syaratnya, mesti dilakukan pengolahan dan pemurnian dalam negeri. Pabrik pengolahan minerba ini umumnya disebut smelter. Argumen pemerintah, agar ada nilai tambang dalam pengolahan minerba. Selain itu, untuk mengembangkan industri pertambangan nasional.

Apakah pemerintah konsiten dengan beleid ini? Ternyata jawabannya tidak. Pemerintah tegas jika itu menyangkut pertambangan kecil. Jika kepentingan bertabrakan dengan kepentingan modal asing, korporasi transnasional sekelas Freeport Indonesia dan Newmont, raksasa tambang milik Amerika Serikat, pemerintah melunak.

Lobi-lobi, disertai ancaman arbitrase maupun pemutusan hubungan kerja massal, adalah taktik kedua korporasi menekan pemerintah Indonesia. Tak cukup, di lokasi tambangnya, Timika (Papua) dan Batu Hijau (Nusa Tenggara Barat), buruh kedua korporasi, menggelar aksi demonstrasi.

Petinggi Freeport, Richard C Adkerson, pertengahan Januari 2014, bahkan datang khusus dari AS, untuk bertemu Menteri Perekonomian, Menteri ESDM, Menteri Keuangan dan Menteri Perdagangan. Tujuannya, meminta dispensasi khusus, atas tambang mereka. Khususnya soal rekomendasi ekspor dan bea keluar.
Di permukaan, otoritas pemerintah yang ditemui petinggi Freeport nyatakan bahwa pemerintah konsiten pada UU Minerba dan peraturan yang ada. Mereka, katanya, tak terpengaruh tekanan dan lobi Freeport maupun Newmont.

Terdapat tiga keganjilan setelah kedatangan petinggi Freeport itu. Pertama, pemerintah melunak soal tahapan renegosiasi kontrak karya tambang Freeport. Sesuai UU Minerba ada enam poin renegosiasi, yaitu batasan luas wilayah, penerimaan negara (royalti), divestasi saham, kewajiban pengolahan dan pemurnian, tingkat penggunaan barang dan jasa dalam negeri, serta perpanjangan kontrak.

Data Kementerian ESDM, hingga bulan Maret 2014 terdapat 37 perusahaan Kontrak Karya (KK) mineral dan 75 Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B). Hingga Maret 2014, baru 25 perusahaan yang setuju menandatangani renegosiasi tambang. Sisanya, 87 perusahaan belum bersedia, termasuk tiga raksasa tambang: PT Freeport Indonesia, PT Newmont Nusa Tenggara dan PT Vale Indonesia (Sulawesi).

Padahal sejak tahun 2011, rencana renegosiasi kontrak tambang telah ramai digembar-gemborkan pemerintah. Secara resmi, baru pada bulan September 2012 rencana itu direalisasikan melalui Keputusan Presiden (Keppres) No. 3 Tahun 2012 tentang Tim Evaluasi untuk Penyesuaian Kontrak Karya dan Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara.

Hingga rezim SBY akan berakhir di tahun 2014 ini,  tanda-tanda pemerintah tegas memaksa korporasi tambang untuk tunduk pada Undang-Undang, masih belum terlihat. Pemerintah tampaknya menyerah pada kuasa dan kehendak korporasi.
Jangan lupa, 25 perusahaan yang sudah tanda tangan renegosiasi adalah perusahaan-perusahaan skala kecil.

Kedua, pemerintah tak kuasa menagih kewajiban pembayaran deviden PTFI selama dua tahun berturut-turut, sejak tahun buku 2012. Jumlah per tahun Rp 1,5 triliun. Alasannya Freeport merugi. Ini dari sisi korporasi.
Dari sisi pemerintah, karena saham pemerintah tergolong kecil hanya 9,36 persen. Tak dibayarkannya dividen ini mengakibatkan target penerimaan negara dalam APBN 2014 menjadi tak terpenuhi, dari angka Rp 40 triliun, menjadi kisaran Rp 37 triliun.

Ketiga, pemerintah memberikan rekomendasi izin ekspor pada Freeport dan Newmont. Dengan berbekal rekomendasi ini, kedua korporasi dapat melakukan ekspor mineral. Bukan itu saja, pemerintah berencana memberikan pengurangan bea ekspor. Di mana berdasarkan ketentuan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 6/2014 besarnya naik secara progresif 25 persen sampai dengan 70 persen pada tahun 2016.
Berharap pada pemerintahan SBY-Boediono untuk menegakkan kedaulatan atas kekayaan alam dan sumber-sumber agraria, sebagaimana amanat Pasal 33 UUD 1945, ternyata tidak terlaksana.

Di hadapan korporasi tambang-migas multinasional, pemerintah kehilangan nyali. Kepentingan nasional (national interest) bukan prioritas.
Dalam dunia migas global, dikenal sebutan “ the seven sister”. Istilah ini mulai popular sejak
tahun 1920-1970-an, yaitu tujuh perusahaan minyak terbesar saat itu. Julukan The Seven Sister
pertama kali dikemukakan oleh pengusaha asal Italia, Enrico Mattei. Enrico merujuk pada perusahaan-perusahaan yang mendominasi produksi, pengolahan dan distribusi minyak saat
itu.
Tujuh perusahaan tersebut terdiri atas 3 (tiga) perusahaan minyak yang merupakan pecahan
dari Standard Oil, plus 4 (empat) perusahaan minyak lainnya.
Ketujuh perusahaan minyak itu adalah:

1. Standard Oil of New Jersey (ESSO)
2. Standard Oil of New York (SOCONI) kemudian berubah nama menjadi Mobil Oil
3. Standard Oil of California, kemudian berubah nama menjadi Chevron
4. Royal Dutch Shell
5. British Anglo-Persian Oil Company (APOC) kemudian berubah nama jadi BP
6. Gulf Oil
7. Texaco

Esso kemudian merger dengan Mobil Oil sehingga menjadi ExxonMobil. Sedangkan Chevron
gabung dengan Texaco menjadi ChevronTexaco. Tujuh perusahaan multinasional inilah yang kemudian menguasai urusan minyak dan gas di level global. Mereka pemain di level hulu, termasuk di Indonesia, baik langsung maupun tidak langsung. Adapun jika kita bicara di level hilir, nama-nama Kuntoro Mangkusubroto, Purnomo Yusgiantoro, Ari Soemarno, Muhammad Reza Chalid, R. Priyono, hingga Karen Agustiawan, adalah sederet nama yang tak boleh dilepaskan dari perhatian, ketika kita mempersoalkan amburadulnya tata kelola migas Indonesia.

Termasuk di dalamnya, sejumlah nama, yang tiba-tiba muncul dari kalangan CEO perusahaan
energi multinasional, yang digadang-gadang jadi ESDM-1 atau Pertamina-1, seperti Darwin
Silalahi (Shell) dan Taslim Z Yunus (Vice President Representative SKK Migas di korporasi
minyak Tiongkok (CNOOC) dan Husky, dan sebelumnya, Vice President Representative BP
MIGAS di Conoco Philips sejak 2008-2011.
Sebuah laporan menyebutkan, kerugian negara dari praktik sindikasi Mafia Migas di Indonesia per tahun minimal sebesar USD 4,2 miliar atau Rp 37 triliun (Kompas, 12 Juni 2014). Artinya, operasi mafia dalam 10 tahun terakhir sebesar Rp 370 triliun.

Anda juga bisa membayangkan, setiap hari, transaksi di hulu untuk urusan minyak ini meliputi 850 ribu barel minyak per hari, atau USD 1,6 triliun sehari, atau sebesar Rp387,6 triliun dalam setahun. Ini baru dari migas, belum dari mafia pangan dan sektor strategis lainnya. Kasihan
benar bangsa dan rakyat (miskin) Indonesia! Para mafia dan bonekanya berpesta pora, sementara mayoritas rakyat Indonesia, hidup dalam kubangan kemiskinan dan kemelaratan. Bagaimana memberantasnya? Pada dasarnya mafia migas ini melibatkan aktor-aktor birokrasi, politikus, dan bisnis. Ini tiga serangkai yang tidak bisa dipisahkan. Birokrasi berkepentingan untuk melanggengkan kekuasaannya di pemerintahan, politikus untuk mengongkosi cost politic serta sederet kebutuhan hidup glamour mereka. Adapun kelompok bisnis, mereka berkepentingan untuk tetap menguasai jaringan monopoli dan sindikasi kartel dalam dunia migas. Ini yang saya sebut tali temali ekonomi politik.

Melawan untuk Mengerti !

Pemerintahan yang terbentuk dari hasil Pemilu 2014, mesti belajar dari gagalnya rezim terdahulu menegakkan kepala di hadapan korporasi dan kekuatan imperealisme. Kegagalan menghadapi dikte dan kuasa korporasi, mengakibatkan kedaulatan alam tergadaikan. Rakyat banyak dan ekologi jadi korban.

Presiden dan kabinet Jokowi-JK, mesti lebih berani dari yang ada sebelumnya.

Banyak dari aktivis dan kaum professional mengacu pada perbedaan pandangan dalam soal-soal teknis bagaimana mewujudkan kemakmuran dan kesejahteraan rakyat.  Namun, bila kita berkehendak memastikan kekayaan dan sumber daya agraria, bermanfaat sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat, sekaligus menguatkan kontrol dan kemandirian rakyat atas kekayaan tersebut, maka melaksanakan reforma agraria dengan menjalankan Pasal 33 UUD 1945 adalah solusinya. Kepentingan nasional mutlak di tempatkan di atas kepentingan partai atau pun golongan.

Sampai di sini, kita harus bangkit MELAWAN untuk bisa MENGERTI wujud KEDAULATAN NEGERI yang pernah dijajah pihak asing begitu lama. Kita harus menjalankan nasionalisasi tambang-MIGAS, disemua wilayah dan tempat domisili kita sebagai bagian RAKYAT INDONESIA yang harus menentang MAFIA MIGAS dan Penjajahan TANAH AIR.***

(Penulis adalah Ketua Dewan Energi Daerah Sulawesi Tengah)


Share this article :

0 komentar:

Jurnalsulteng.com on Facebook

 
Developed by : Darmanto.com
Copyright © 2016. JURNAL SULTENG - Tristar Mediatama - All Rights Reserved
Template by Creating Website
Proudly powered by Blogger