>
Headlines News :
Home » » Pers Saat Ini dan Persatuan Nasional

Pers Saat Ini dan Persatuan Nasional

Written By Unknown on Kamis, 11 Februari 2016 | 00.42.00

(Untuk Hari Pers Nasional 2016)
Oleh: Adi Prianto, SH

Pers dan demokrasi
Setiap acara formal tahunan, khususnya Hari Pers Nasional (HPN), acap kali bertemu anak kalimat “ salah satu pilar demokrasi “, tentu saja pers dan hasil produksi turunanya. Pers salah satu penyangga tiang demokrasi, menjadi sebuah pilar yang dilahirkan oleh gerakan rakyat 1998 sekaligus menandakan tanpa pembrendelan dan sensor ketat a la rezim otoriter, hubungan keduanya-pers dan demokrasi- secara umum yakni kebebasan.

Zaman reformasi telah berjalan sangat pesat, pun begitu dengan pers. Pada awal-awalnya kebebasan pada dunia pers seperti kebablasan, berikutnya mmperbaiki diri lewat legalitas undang-undang dan lembaga penegak kode etik. Perbaikan-perbaikan melalui mekanisme formal tidak serta merta mampu menyelesaikan hal-hal domestik yang ditimbulkan, seperti upah, surat kontrak ikatan kerja, penyelesaian kekerasan kepada jurnalis, tidak netral pada situasi politik dan lain sebagainnya. Hukum-hukum formal diwilayah pers dilahirkan untuk menjawab zaman setelah Orde Baru tetapi dilahirkan melalui mekanisme politik.

Narasi “ pers pilar demokrasi “ adalah menunjukan kepahitan itu sendiri, jika berjalan dan berproses pada alam demokrasi mengandalkan kebebasan-baik itu kebebasan berkespresi-juga mengandalkan kritikan sebagai oposisi maka pers menjadi sirkuit kegaduhan dari konflik interest. Group tivi berita besar misalkan, karena sudah terkoneksi dengan kekuasaan dan atau tidak, kepentingan utamanya adalah menggiring opini publik untuk bisa membenarkan sesuatu hal yang dinginkan, pembelahan bisa terjadi di tengah masyarakat karena mengikuti sudut pandang berbeda-beda dari apa yang disajikan oleh pers.

Demokrasi tanpa judul tidak bisa menyambungkan kepentingan bangsa, yakni persatuan nasional dengan pers. Bermodal dan mengatasnamakan demokrasi yang terjadi adalah liberal dan kapitalisasi pada area pers, menjadi mesin pengendali kesadaran juga doktorinisasi sekaligus menjadi menara gading. Demokrasi tanpa judul tersebut adalah demokrasi hasil amandemen Undang-Undang Dasar 1945, demokrasi yang telah dikubur pada revolusi Perancis dan Dekrit Presiden Republik Indonesia tahun 1959. Demokrasi tanpa judul bercirikan saling serang, mendaku, merasa benar atas golongan lainnya.

Tidak ada pers netral atau bebas nilai, tetapi untuk kepentingan bangsa pers harus menyerahkan dirinya pada idiologi Bangsa demi menyelaraskan dirinya dengan demokrasi yang hidup dan tumbuh di Indonesia. Pers dan demokrasi terpenting diletakan sebagai alat untuk mencapai cita-cita bersama dari sebuah negara, memiliki tujuan dan arah yang jelas untuk menjaga tidak terseret dan tergelincir pada kepentingan pragmatis atau by order.

Pers sebagai alat pendidikan massa
Akar historis pers adalah akar pergerakan politik yang diabdikan pada gerakan pembebasan nasional, membebaskan diri dari kolonial Belanda, membebaskan diri dari imprealisme. Kelahiran pertamanya menurut Pramudya Ananta Toer sebagai cikal bakal pembaharu dan tempat berkespresinya seluruh golongan politik pada saat itu. Zaman awal-awal pergerakan kebangsaaan dapat dihitung dengan jari masyarakat yang bisa membaca, kendala seperti ini bukanlah halangan utama, kelompok pergerakan mensiasatinya dengan merubah, dari bahasa Belanda/Tionghoa kebahasa Melayu dengan tujuan utama, koran dapat menjangkau masyarakat lebih luas dan mengerti atas gagasan kemerdekaan Bangsa.

Karena pers adalah produksi dari kebudayaan masyarakat itu sendiri maka fungsi dan peranan utama adalah pendidikan, yang tidak tahu menjadi tahu, yang tidak mengerti menjadi mengerti dan seterusnya. Fungsi pendidikan tidak hanya dilekatkan pada etika penulisan berita atau alasan netralitas, berkesinambungan dari hulu ke hilir; sumber, penulis, redaksi, pemilik media, produk pers dan pembaca.

Lenin, pada tulisannya “ dari mana memulai? “ menyebutkan koran partai merupakan media penghubung sekaligus alat pendidikan untuk anggota yang bisa menjangkau lebih luas dan kompleks. Pada ilmu politik kontemporer, terutama pada negara yang demokrasinya sudah matang seperti di Eropa, pada masa elektoral pers menjadi garda terdepan untuk mendidik voters terkait program dan harapan kandidat mereka. Ini menandakan bahwa pers dapat memasuki semua sektor sosial sambil menjadi lilin digelapan yang timbul akibat ketegangannya.

Fungsi pendidikan itu adalah semangat membangun cita-cita dan harapan secara kolektif, peranan pers vital. Pers bisa saja menjadi senjata yang memutuskan hal tersebut, cukup mengabarkan hal-hal remeh temeh dan durasinya diperbanyak, seperti opera sabun tivi yang konsumerisme dan indifidual juga infotaiment yang memberikan harapan palsu kepada generasi muda bangsa.

Penutup
Yang menuntun pers di tengah masyarakat bukanlah terikat tunggal pada hukum formal tertulis, tetapi tujuan akhir dari negara yang dirumuskan dan bersifat final. Pembentukan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) adalah res republik, semua penyelenggaraan diabdikan pada kepentingan umum yang ditopang oleh seluruh kelompok dan golongan politik sosial dan hendak diakhiri pada tujuan masyarakat adil dan makmur. Selama belum tercapai maka pers menjadi magnet sekaligus martir untuk melapangkan jalan menuju akhir cita-cita kolektif kebangsaan.

Memaknai HPN 2016 kali ini harus ditambahkan, dari pers yang sehat menjadi pers yang sehat, kuat dan dewasa dialam demokrasi liberal. Menjadi kritis sekaligus memberikan peta jalan keluar terhadap persoalan masyarakat dan kebangsaan, tidak bisa terus menerus hidup “ dari sumber yang tidak mau dikorankan “ dan cerita bombasme dibumbui majas hiperbola.[***]

(Penulis adalah Ketua PRD Sulawesi Tengah)

Share this article :

0 komentar:

Jurnalsulteng.com on Facebook

 
Developed by : Darmanto.com
Copyright © 2016. JURNAL SULTENG - Tristar Mediatama - All Rights Reserved
Template by Creating Website
Proudly powered by Blogger