>
Headlines News :
Home » , » Tolak Tambang, Petani Malah Dipanggil Polisi

Tolak Tambang, Petani Malah Dipanggil Polisi

Written By Unknown on Jumat, 16 Oktober 2015 | 21.17.00

Permasalahan tambang di Donggala, Sulawesi Tengah, sampai saat ini tidak hanya menyisakan konflik dengan masyarakat tetapi juga masih adanya tumpang tindih wilayah tambang.[Foto: Mongabay]
Palu, Jurnalsulteng.com- Masyarakat di Desa Labuan Taposo, Kecamatan Labuan, Kabupaten Donggala, Sulawesi Tengah, ramai-ramai menolak kehadiran perusahaan tambang galian C. Namun, akibat penolakan itu, enam orang petani di desa tersebut justeru dipanggil kepolisian sektor (Polsek), karena di duga melakukan tindak pidana perusakan berdasarkan pasal 170 KUHP.

Surat panggilan pertama  masuk pada 12 Agustus 2015 dan keenam warga tersebut diminta hadir pada Kamis, 15 Oktober 2015. Panggilan sebagai saksi ini berdasarkan laporan polisi nomor : LP/104/IX/2015/SEK Lbn, 8 September 2015.

Karena adanya panggilan polisi itu, masyarakat merasa tidak nyaman dan merasa dihantui peristiwa di Lumajang, Jawa Timur, yang menewaskan Salim Kancil terbunuh dan Tosan dirawat intensif di rumah sakit, terus membayangi warga.

Warga merasa situasinya hampir sama, dimana preman-preman kampung juga banyak yang pro tambang. Bahkan untuk wawancara, masyarakat meminta agar namanya dirahasiakan.

“Kami sedang berkumpul mendiskusikan nasib keenam kawan yang berniat baik menyelamatkan lingkungan. Sayang, kasus ini menimpa mereka yang selalu berniat baik,” kata salah seorang warga.

Keenam warga yang dipanggil kepolisian itu adalah, Zamu, Sud, Suki, Amir, Umar, dan Badu. Mereka adalah petani yang sering menggelar diskusi kampung, sehingga mempunyai pengetahuan tentang seluk-beluk penyelamatan lingkungan.

Menurut penuturan warga, kronologis kejadiannya dimulai pada 21 Agustus 2015. Saat itu, mereka mengadakan pertemuan bersama pemerintah desa, yang dihadiri 38 warga. Pertemuan itu menghasilkan kesepakatan dihentikannya kegiatan pertambangan yang dilakukan tiga perusahaan, yakni CV. Putra Labuan, CV. Lelea Ratan, dan CV. Rementana di wilayah Desa Labuan Toposo.
(Baca Juga: Aneh, Polda Hanya Klarifikasi Pelaku Ilegal Mining )

Pada 31 Agustus 2015, kepala desa mengirimkan surat kepada operator alat berat CV. Rementana, yang meminta agar proses penggalian diberhentikan untuk sementara, sambil menunggu pertemuan berikutnya. Namun, faktanya perusahaan masih terus beroperasi.

Pada 6 September 2015, sekira pukul 20:00 WITA, warga berkumpul di rumah ketua RT (Rukun Tetangga) untuk merencanakan aksi di lokasi perusahaan.

Sehingga pada Selasa, 7 September 2015, pukul  15:30 WITA, warga mulai berkumpul di dekat lokasi penggalian. Jumlah mereka sekitar 60 orang. Massa melihat masih ada alat berat milik CV. Rementana yang beroperasi. Mereka kemudian mendekat ke tambang galian dan menemui dua orang operator alat berat bernama Edward dan Aco.

Saat warga mempertanyakan mengapa masih ada alat yang beroperasi, operator alat berat tersebut mengaku bahwa alat berat tersebut dalam kondisi rusak.

Namun warga tidak percaya dengan pengakuan operator, karena sebelumnya warga melihat alat berat tersebut masih beroperasi. Tidak lama setelah itu terjadi lagi percakapan yang meminta agar Edward dan Aco menghubungi pemilik perusahaan dan memindahkan alat berat.

“Saat alat berat dipindahkan, ternyata alatnya tidak rusak. Dan entah siapa yang memulai, terjadi pelemparan batu ke alat berat,” ungkap salah seorang warga.

Warga juga menuturkan bahwa hadirnya perusahaan galian C tersebut telah membuat warga resah sejak 2014, karena terjadi banjir besar yang mengakibatkan rusaknya lahan perkebunan kelapa dan kakao milik warga.

“Perkebunan warga yang rusak karena banjir itu terjadi di desa kami di Labuan Toposo. Akibat banjir besar ini, bendungan irigasi jebol,” katanya.

Menanggapi pemanggilan terhadap petani yang dilakukan kepolisian, Kepala Departemen Advokasi dan Kampanye Walhi Sulawesi Tengah, Aries Bira menilai, pemanggilan polisi ini menekan nilai patriotis dalam melakukan pembelaan lingkungan. Hal ini katanya, hanya akan membuat warga takut melawan yang dianggapnya benar.

“Tentu ini satu cerita yang akan terus berulang, karena dimana pun ada perlawanan rakyat dalam investasi berkedok pendapatan daerah atau pertumbuhan ekonomi. Contoh saja aksi kriminalisasi, intimidasi, hingga berujung matinya Salim Kancil di Lumajang,” ungkapnya.

Aries juga menjelaskan, bahwa sampai saat ini mereka belum yakin jika yang melakukan pelemparan tersebut adalah warga. Karena dalam aksi-aksi mereka sebelumnya, pelemparan ini tidak pernah terjadi. Atau, katanya, jika ini betul dilakukan warga, tentu harus melihat kondisi mereka yang hanya terus diberi janji, bahwa perusahan akan berhenti beroprasi.

“Selain itu mestinya polisi juga memanggil pihak perusahaan, karena sejak Agustus yang lalu telah diminta berhenti sementara oleh pemerintah desa. Namun, fakta dilapangan warga menemukan perusahaan masih terus beroperasi. Kami juga akan menyiapkan tim hukum untuk mendampingi keenam warga itu," tegas Aries.[***]

Sumber; Mongabay
Editor; Sutrisno

Share this article :

0 komentar:

Jurnalsulteng.com on Facebook

 
Developed by : Darmanto.com
Copyright © 2016. JURNAL SULTENG - Tristar Mediatama - All Rights Reserved
Template by Creating Website
Proudly powered by Blogger