>
Headlines News :
Home » » Ada Fasisme di Pilpres 2014?

Ada Fasisme di Pilpres 2014?

Written By Unknown on Minggu, 29 Juni 2014 | 16.58.00

Oleh : Adi Prianto,SH
Ilustrasi

ISU Fasisme pada Pemilihan Presiden (Pilpres) 2014 bersinggungan langsung dengan salah satu kandidat, itu pun dikaitkan pada pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) masa lalu, setidaknya pemicu isu fasisme semakin ramai dibicarakan kepermukaan secara luas oleh rakyat yakni Ahmad Dhani, pentolan group Dewa 19, pada klip video mendukung salah satu kandidat menggunakan seragam pasukan khusus militer Nazi ( Waffen SS atau Schutztaffel, barisan bersenjata pengawal Hittler pada tahun 1930-an). 

Pemicu selanjutnya adalah pelarangan pertemuan aktifis 98 di Wisma Kementrian Pemuda dan Olah raga (Kemenpora) yang dilanjutkan pada peringatan Hari Anti Penyiksaan, muncullah tagline “ Hadang Kebangkitan Fasis Orde Baru Jilid II “. 

Mengenai siapa yang menghembuskan isu fasisme di tengah badai Pilpres 2014 banyak kalangan bisa menebak, pun termasuk kepentingan apa yang ingin diraih dari menguatnya Fasisme dipanggung politik nasional.

Mengenai Ahmad Dhani yang menggunakan seragam SS menjadi bahan bully oleh para pengguna media sosial, Ahmad Dhani juga kerap menggunakan simbol-simbol yang diidentikan dengan premansory, bahkan sekitar dua tahun lalu beredar video dijejaring youtube memvonis Ahmad Dhani adalah seorang Yahudi, sekali lagi parameternya menggunakan simbolisasi yang melekat pada tubuh dan fashion yang dikenakan serta “ mata satu “ yang muncul pada video klip Dewa 19.

Fasisme berkembang dan timbul di Eropa pada awal abad 19, pada situasi depresi kapitalisme yang begitu akutnya, Mussolini di Italia memasuki fase Fasisme tahun 1922, Jerman di bawah Hilter pada tahun 1933 dan Spanyol pada tahun 1936. Fasisme yang berkembang di Eropa pada awal abad ke-19 berlatar belakang situasi ekonomi politik. Seperti Jerman, selain sedang menghadapi krisis ekonomi terjadi krisis politik, Hitler bertarung pada Pemilu dan politik sayap kiri mengalami perpecahan antara Partai Sosial Demokrat dan kaum republiken, Partai Komunis Jerman dan ultrakiri. Setidaknya di Eropa yang menjadi negara yang menganut fasisme adalah negara-negara yang maju dari segi industrinya (laelyarmi; 2012), Fasisme selain membutuhkan negara untuk politik dalam negerinya menjadi superior, industri yang maju dibutuhkan untuk memoderenkan teknologi militer demi kepentingan politik luar negeri (penundukan negara-negara lain dengan perang).

Salah satu kawan penulis berpendapat dimedia sosial mengambil kesimpulan bahwa fasisme menolak kapitalis asing dan sangat mencintai kapitalis nasional, dari literatur sejarah, negara-negara fasis melakukan politik luar negeri, selain kerja sama membentuk satu dunia yang tertib juga kerja sama modal dan tekhnologi, negara Italia dan Jerman dalam sejarahnya melakukan kerja sama, perjanjian bilateral sesama negara fasis, sehingga yang disebut dengan mencintai kapitalis asing tidak menjadi alasan tunggal bahwa fasisme akan dekat dengan program-program nasional seperti TRI SAKTI Bung Karno dan program kemandirian bangsa yang sedang digadang-gadang oleh kedua kandidat capres, lantas merubah para kandidat Capres menjadi seorang fasis yang bersandar pada program ekonomi kerakyatan.

Amir Syarifudin, tokoh kemerdekaan Indonesia dari sayap kiri, pada saat Jepang masuk ke Indonesia, taktik perjuangan founding fathers terbagi politik atas dan bawah, Bung Karno dan Bung Hatta menjalankan politik kompromis kepada Jepang dan Amir Syarifudin menjalankan politk bawah tanah dengan mendirikan Geraf (Gerakan Anti Fasis), sumber pembiayaan gerakan bawah tanah Amir Syarifudin dan group sel-sel di bawahnya didapatkan dari Belanda (Mc. T. Kahin; Nasionalisme dan Revolusi Di Indonesia), penjajah dan yang dijajah memiliki sudut pandang yang sama, fasisme dianggap merupakan ancaman yang lebih besar dibandingkan dari kolonialisasi itu sendiri. 

Kelompok nasionalis menjadi besar kepentinganya pada penghadangan fasisme yang dibawah oleh Jepang, dengan hanya memberi bantuan dana perjuangan kepada kelompok Amir Syarifudin memberikan petunjuk bahwa nasionalisme juga menjadi musuh bagi fasisme.

Fasisme dalam kepentingan idiologi menjadi sangat kosong, sepanjang sejarah fasisme tidak memiliki program politik yang terarah, Jerman dan Italia selama periode fasis terjebak pada superior ras dan kejahatan war crime dan genoside, sehingga fasisme lebih tepat dikatakan sebagai gerakan reaksioner, reaksi atas kebuntuan dari demokrasi yang telah dilaksanakan, kebuntuan situasi kapital secara global. 

Seperti saat ini, dimasa badai Pilpres 2014, seolah basis fundamen fasis itu hanya militer dan pelanggar HAM masa lalu, kelas menengah ke bawah, segelintir pelaku industri dan tuan tanah adalah basis fundamen yang merupakan satu kesatuan yang tidak bisa terpisahkan dengan basis fundamen kelompok militer. 

Kebangkitan Fasisme Orde Baru Jilid II ?
Selama badai Pilpres 2014 terlalu banyak orang-orang berspekulasi bahwa Orde Baru akan –bangkit, hanya dengan alasan klasik, bagian dari masa lalu Orde Baru yang bar-bar dan pembungkam demokrasi. Penulis menegaskan, kita sudah benar-benar paham bahwa kedua kandidat Capres tidak ada yang sempurna, kalau berasal dari rahim Orde Baru yang bar-bar, kedua kandidat Capres atau Cawapresnya pernah dikandung oleh Orde Baru. Yang lebih galak dan meng-galau-kan hati para followers kandidat capres adalah pensiunan militer yang berlumuran darah korban pelanggaran HAM, sekali lagi dikedua kandidat capres berdiri di belakang mereka adalah jendral-jendral lulusan “sandhi yudha” dan pernah terlibat pada operasi-operasi militer yang terindikasi pelanggaran HAM, kasus Talangsari, kasus DOM Aceh, penculikan aktifis, kerusuhan rasialis Mei 1998, semanggi I dan II, kasus 27 Juli, kasus Petrus, kasus tanjung priok dan lain sebagainya. Berbuat adil dari sejak alam fikir akan semakin sulit kita temukan ketika acara dukung-mendukung kandidat capres membutakan akal dan fikiran.

Kebangkitan Fasisme Ore Baru tidak serta merta bangkit dengan pelarangan pertemuan aktifis atau menggunakan simbolisasi dan atau berasal dari militer. Ada empat point menurut penulis yang harus kita perhatikan, Pertama pada perkembangan situasi politik Pilpes 2014, kedua kandidat Capres mengusung isu nasional, kedua kandidat Capres menggariskan isu nasionalisme itu memiliki roh yang sama, roh Bung Karno yang anti terhadap penjajahan bangsa terhadap bangsa lain, pada Pidato 1 Juni Bung Karno menggariskan bahwa nasionalisme Indonesia tidak harus menjadi nasionalisme seperti di eropa yang melakukan penundukan pada bangsa/negara lain, bukan nasionalisme chauvenis, Bung Karno mengutip apa yang dikatakan oleh Mahatma Gandhi, nasionalisme humanis. 

Tidak ada peluang pada nasionalisme yang sedang digembar-gemborkan oleh kedua kandidat capres untuk memberikan karpet merah untuk fasis. Kedua pascareformasi situasi keran demokrasi politik menjadi liberal, partai-partai politik tumbuh subur untuk menjadi kontestan Pemilu, lembaga-lembaga sipil sebagai kontrol negara dibentuk berdasarkan Undang-undang, seperti Komisi HAM dan seterusnya. Kontrol-kontrol rakyat/sipil terhadap negara seperti kebebasan demonstrasi dan penyelenggaran negara yang transparan makin hari menemukan bentuknya sendiri sebagai penyeimbang politik diluar dari parlemen dan birokrasi, situasi perkembangan demokrasi dan politik yang berjalan dewasa ini belum menemukan jalan buntu atas penyelenggaran demokrasi dan potensi chaos masih sangat minim, militer secara kelembagaan dan anggaran pun masih dikontrol dan terukur lewat Komisi I DPR-RI dalam hal anggaran dan partner kerja yang merupakan manifestasi dari lembaga politik yang dipilih oleh rakyat.

Ketiga, sumber kekayaan negara selama kurun sepuluh tahun terakhir belum menjadi sumber-sumber kesejahteraan rakyat, selain problem ketimpangan kepemilikan sumber daya alam yang didominasi oleh pihak asing adalah kemiskinan, keduanya bukan prasayarat untuk membangkitkan fasisme karena menghambat kemajuan dan industrialisasi. 

Sejak SBY berkuasa sepuluh tahun penyelenggaraan ekonomi makro kita 100% diserahkan kepada sistem neoliberalisme sehingga merangsang lahirnya sentimen nasionalis dan naik sampai kepanggung nasional setingkat Pilpres. Pada kondisi ini kemudian mengkhawatirkan bangkitnya fasisme tetapi mendukung salah satu kandidat Capres akan memundurkan kembali perkembangan situasi politik kita kepada kegelapan, justru kedatangan isu fasisme ditengah badai Pilpres menghandirkan penumpang gelap, imprealisme. 

Sifat dari imprealisme sendiri adalah politik devide et impera, penumpang gelap adalah sponsor tunggal dari isu fasis pada Pilpres 2014 demi menjaga sumber-sumber kekayaan yang telah mereka kuasai dan terus menjaga hegemoni terhadap Presiden terpilih agar kebijakan yang dikeluarkan terus berpihak dan menguntungkan imprealisme, penumpang gelap adalah penghalang proyek nation karena menghalangi pengkosentrasian kekayaan alam ketangan negara sebagaimana amanat Pasal 33 UUD1945. 

Keempat, perdebatan Pilpres 2014 tidak lagi diletakan pada sipil versus militer, sebagaimana pengalaman Pemilu tahun 2004. Calon dari militer kemudian diindikasikan bahwa perwakilan fasis dan akan menyeret bangsa ini menjadi Orde Baru jilid II, Orde Baru Jilid II menjadi sangat kontra produktif bagi perkembangan situasi politik, sejatinya tidak ada perkembangan yang meloncat kebelakang, hukum dialektika menegaskan setiap situasi perkembangan masyarakat akan menciptakan material baru dan begitu seterusnya. 

Penutup

Sebijak-bijaknya kelompok intelektual dalam melontarkan kritik pada situasi badai Pilpres 2014 adalah kritik yang diarahkan kepada programatik agar menyehatkan alam demokrasi saat ini, tuding sana dan menuduh ini justru menjadi serangan yang tidak bertanggung jawab, pada peralihan kekuasaan kali ini dengan hanya disediakan dua kandidat membuat para pendukung banyak yang menjadi kalap dan hilang kerasionalannya. Mencari data, survei, pembangunan basis argumentasi dan menciptakan black campain lebih pada subjektifitas yang seolah-olah kemenangan kandidat yang didukung telah didepan mata. Penulis mendorong, menyarankan dan mengharuskan kepada masing-masing tim sukses, baik yang berasal dari kalangan aktifis untuk lebih mengkongritkan program-program kandidat yang didukung pada kehidupan keseharian rakyat dan menghubungkannya dengan problem-problem yang dihadapi oleh rakyat, karena dengan cara seperti ini rakyat merasa dilibatkan pada prosesi pergantian kepemimpinan nasional lima tahunan, hanya dengan ini kita menjadi jembatan kepada rakyat untuk membangun proyek politik kearah yang lebih baik.*** 

(Penulis adalah Ketua Partai Rakyat Demokratik Sulawesi Tengah)
Share this article :

0 komentar:

Jurnalsulteng.com on Facebook

 
Developed by : Darmanto.com
Copyright © 2016. JURNAL SULTENG - Tristar Mediatama - All Rights Reserved
Template by Creating Website
Proudly powered by Blogger