>
Headlines News :
Home » , » Menebak Arah Nilai Tukar Rupiah Pasca Menguat Tajam

Menebak Arah Nilai Tukar Rupiah Pasca Menguat Tajam

Written By Unknown on Sabtu, 17 Oktober 2015 | 06.22.00

[Ilustrasi]
Jurnalsulteng.com - Pergerakan nilai tukar Rupiah terhadap dolar Amerika (USD) menguat tajam pada awal Oktober ini. Pertengahan September lalu, nilai tukar Rupiah sempat melemah tajam hingga menyentuh titik terlemahnya di level Rp 14.691 pada 29 September, nilai tukar terendah selama tujuh tahun terakhir.

Namun, pada awal Oktober 2015, posisi Rupiah mulai kembali menguat, masuk ke level 13.000 per dolar Amerika Serikat. Perdagangan kemarin, Rupiah ditutup menguat 198 poin atau 1,45 persen. Rupiah ditutup di level Rp 13.418 per USD, atau menguat dibanding penutupan perdagangan sebelumnya yaitu di level Rp 13.616 per USD.

Banyak dugaan penyebab Rupiah kembali menguat pada awal Oktober 2015. Bank Indonesia mengklaim keyakinan investor terhadap pemerintah Indonesia sudah pulih. Ini terlihat dari penguatan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS yang mencapai 4,4 persen dalam tiga hari saja.

"Tadinya investor asing mengatakan pemerintah tidak pernah serius melakukan structural reform. Paket kebijakan itu mendorong investor masuk, lalu pemerintah meng-adress dengan debirokratisasi dan deregulasi dalam rangka mendorong investor dan devisa masuk," ujar Deputi Gubernur Bank Indonesia Mirza Adityaswara, Jakarta, Jumat (9/10).

Menurut Mirza, penguatan rupiah juga didorong sentimen The Federal Reserve diperkirakan bakal menunda penaikan suku bunga acuannya hingga tahun mendatang.

Pengamat Institute for Development of Economic and Finance (INDEF), Enny Sri Hartati mengatakan, penguatan Rupiah kali ini murni terjadi karena faktor eksternal melemahnya dolar Amerika Serikat (USD). Faktor eksternal dinilai sedang bagus untuk mendongkrak perekonomian dalam negeri.

"Kalau pergerakan terlalu cepat sekarang ini bukan karena faktor fundamental kita, tapi ada di faktor sentimen. Salah satunya eksternal tapi bisa juga internal, tapi sedikit," tegas Enny.

Faktor eksternal lainnya yang mendongkrak penguatan Rupiah adalah rilis angka pengangguran di Amerika Serikat yang tidak sesuai dengan ekspektasi. Tingginya pengangguran di Negeri Paman Sam menandakan ekonomi mereka belum membaik. Dengan demikian, kemungkinan bank sentral Amerika atau The Fed menaikkan suku bunga menjadi mustahil.

"Maka belum ada ruang untuk The Fed untuk menaikkan suku bunga. Menyebabkan orang tidak terus memburu dolar Amerika. Kemudian ada juga juga aliran uang ke emerging market yang tadinya ke Amerika, sekarang balik lagi," kata Enny.

Namun demikian, apakah membaiknya nilai tukar Rupiah ini masih akan terus berlanjut?

Peneliti Morgan Stanley Asia, Kritika Kashyap mengatakan bahwa penguatan Rupiah akan segera melambat. Jika dilihat dari neraca pembayaran Bank Indonesia, terdapat penurunan cadangan devisa pada pekan terakhir September sebesar Rp 58,5 triliun. Sementara dilihat dari aset, jumlah aset bersih BI turun Rp 20 triliun pada pekan yang sama.

Tidak hanya likuiditas yang mengetat di pekan terakhir September, namun likuiditas pasar Rupiah di luar negeri juga menipis. Meskipun data likuiditas kontrak pertukaran mata uang asing (Non-deliverable fund) tidak terlalu tersedia, namun likuiditas NDF di awal Oktober hampir 50 persen lebih rendah dibanding September. Hal ini berarti, frekuensi penjualan mata uang Rupiah juga turut menurun.

Bukti di lapangan yang berasal dari pialang menunjukkan bahwa volume perdagangan harian pekan lalu rata-rata berada di USD 300 juta hingga USD 400 juta, lebih rendah dibanding perdagangan dalam kondisi normal yaitu di antara USD 500 hingga USD 600 juta.

Ekonom Moody's Analystics, Faraz Syed mengatakan, sulit untuk Rupiah kembali bergerak menguat seperti awal tahun lalu. Rupiah diprediksi akan terus bergerak melemah seiring membaiknya kondisi perekonomian Amerika Serikat.

"Rupiah kemungkinan sulit untuk kembali ke posisi awal tahun. Rupiah berada dalam tren menurun, sementara kebijakan moneter Amerika akan cenderung kembali normal, dan kami melihat arus modal keluar atau capital outflow akan meningkat seiring dengan cadangan devisa Indonesia yang rendah. Hal ini menjadikan Indonesia menjadi paling rentan di Asia," ucap Faraz Syed seperti dilansir dari CNBC, Kamis (15/10).

Meski demikian, pemerintahan Jokowi-JK tetap optimis pergerakan nilai tukar Rupiah akan terus membaik ke depannya.

Menteri Koordinator Perekonomian, Darmin Nasution, memprediksi Rupiah masih akan menguat dalam jangka waktu sekitar sebulan ini. Namun, angkanya diproyeksi tidak secepat yang sebelumnya.

"Masih ada pergerakan ke arah itu (penguatan) ya sebulanan ini lah barangkali. Tapi ya mungkin makin lama nanti tidak lagi dalam jumlah 200 sehari. Ya Itu agak cepat itu. Kita tidak perlu terlalu cepat juga," papar Menko Darmin di Kantor Menko Perekonomian, Jakarta, Kamis (15/10).

Mantan Gubernur Bank Indonesia ini menegaskan posisi nilai tukar Rupiah terhadap USD di kisaran Rp 13.200 belum menunjukkan nilai fundamental Rupiah. "(13.200 belum fundamental?) Belum," tegas Darmin.

Meski demikian, Menko Darmin mengatakan, sulit untuk memprediksi waktu yang dibutuhkan Rupiah untuk mencapai nilai fundamentalnya. "Susah mengatakannya. Makin ke sana makin alot dia nanti, makin pelan-pelan," ungkap Darmin.

Dia meminta semua pihak untuk tidak risau dengan pergerakan nilai tukar Rupiah, lantaran pemerintah terus berupaya berbenah diri guna meningkatkan keyakinan masyarakat dan investor terhadap perekonomian Indonesia.

"Tapi intinya adalah ini masih bergerak, dan ya ga tau mungkin sebulan dan dua bulan ini masih," ucap Darmin.[***]

Sumber; Merdeka
Share this article :

0 komentar:

Jurnalsulteng.com on Facebook

 
Developed by : Darmanto.com
Copyright © 2016. JURNAL SULTENG - Tristar Mediatama - All Rights Reserved
Template by Creating Website
Proudly powered by Blogger