>
Headlines News :
Home » » Kebijakan Politik Hukum Pemerintahan Jokowi Belum Jelas

Kebijakan Politik Hukum Pemerintahan Jokowi Belum Jelas

Written By Unknown on Jumat, 21 Agustus 2015 | 08.02.00

Jakarta, Jurnalsulteng.com- Kegaduhan yang kerap terjadi sekarang ini tak lepas dari ketidakjelasan arah kebijakan politik hukum pemerintah. Hal ini yang menyebabkan koordinasi antara organ-organ negara tidak sinkron atau macet. Imbasnya, komitmen pemerintah terhadap pemberantasan korupsi diragukan.

"Sejauh ini belum ada sinyal dari pemerintah terkait komitmen pemberantasan korupsi. Ini disebabkan kebijakan politik hukum pemerintah tidak jelas arahnya. Maka, pelaksanaan kebijakan politik hukum pemerintah oleh menteri, atau lebih spesifik lagi oleh dirjen, direktur, bahkan kasubdit menjadi tidak jelas," kata pakar hukum Frans Hendra Winarta, di Jakarta, Jumat (21/8/2015).

Menurutnya, pemberian remisi terhadap 1.938 koruptor merupakan indikator dari ketiadaan arah kebijakan politik hukum. Padahal, bandar narkotika yang juga tergolong sebagai kejahatan luar biasa seperti korupsi dapat dieksekusi mati kendati menimbulkan kegaduhan yang menguras energi.

Dirinya juga mempertanyakan keinginan pemerintah yang cenderung mendorong penguatan sistem preventif korupsi ketimbang represif. Sebab, faktanya upaya melemahkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tetap berjalan. Baik melalui ancaman pidana terhadap komisioner dan penyidiknya maupun mempersempit wewenang KPK melalui perubahan perundang-undangan.

Ketua Umum Persatuan Advokat Indonesia (Peradin) yang sempat duduk sebagai anggota Komisi Hukum Nasional (KHN) yang kini dibubarkan pemerintah itu juga mempertanyakan, mengapa di antara sembilan anggota Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres) tidak ada orang hukum yang kredibel, kompeten, dan teruji pengalamannya untuk memberi masukan kepada Presiden Joko Widodo.

"Kalau administrator ulung bisa menempatkan orang-orang terbaik duduk di tempat yang layak. Pak Harto, terlepas dari segala kontroversinya merupakan administrator ulung karena mampu memilih orang yang tepat, the right man on the right place," ujarnya.

Contoh lain, lanjut Frans, sekitar tahun 1960-an, Bung Karno pernah mengumpulkan 1.000 hakim dan berpidato untuk mengingatkan para hakim tidak hanya bertugas memberikan keadilan dan kebenaran melalui putusan di pengadilan namun berperan juga dalam melindungi revolusi Indonesia.

"Zamannya Pak Harto dan Bung Karno jelas politik hukumnya terlepas dari kontroversinya. Sekarang tidak jelas antara Jaksa Agung, Kapolri, KPK, dan MA pasti lain-lain kalau ditanya tujuan hukumnya mau ke mana," jelasnya.

Menurutnya, semangat penguatan sistem preventif dalam pemberantasan korupsi harus dilakukan dari pembenahan moralitas dan nasionalisme para penegak hukumnya. Pasalnya, hal itu merupakan faktor utama penyebab dunia penegakan hukum mengalami dekadensi moral.

"Pengadilan kita kan semakin rusak. Dulu orangnya pintar-pintar tapi menyelewengkan hukum kalau sekarang sudah bodoh menyelewengkan hukum pula. Maka kita harus kembali ke moralitas dan nasionalisme, ini yang seharusnya digalakkan karena bagian dari revolusi mental," jelasnya.

Dihubungi terpisah, pakar hukum dari Universitas Parahyangan Bandung, Agustinus Pohan juga mengungkapkan hal yang sama. Tidak jelasnya kebijakan politik hukum menyebabkan sinergitas di antara lembaga penegak hukum tak berjalan optimal.

"Diperlukan upaya yang lebih serius untuk meningkatkan nasionalisme bagi aparatur negara, sehingga dapat diharapkan berperan sebagai internal kontrol untuk mencegah korupsi dan kejahatan lainnya yang merugikan negara. Sinergi, tampaknya dimaksudkan untuk menghentikan konflik di antara penegak hukum. Mungkin ini penyebab digantinya Menko Polhukam," ujar Pohan.[***]

Sumber; Beritasatu

Share this article :

0 komentar:

Jurnalsulteng.com on Facebook

 
Developed by : Darmanto.com
Copyright © 2016. JURNAL SULTENG - Tristar Mediatama - All Rights Reserved
Template by Creating Website
Proudly powered by Blogger