>
Headlines News :
Home » » 70 Tahun Indonesia Merdeka, 50 Tahun Politik Luar Negeri yang Dilupakan

70 Tahun Indonesia Merdeka, 50 Tahun Politik Luar Negeri yang Dilupakan

Written By Unknown on Senin, 17 Agustus 2015 | 21.48.00

Oleh: Adi Prianto, SH
SIFAT Politik luar negeri yang bebas aktif anti imprealisme dan kolonialisme adalah garis politik luar negeri yang diputuskan oleh Dewan Pertimbangan Agung (DPA) pada 19 Januari 1960, sejak Soekarno dilengserkan melalui kudeta merangkak secara umum politik luar negeri Indonesia hanya menggunakan ´bebas aktif”, praktek penggunaan narasi ini selama 50 tahun, 32 tahun dipraktekan oleh rezim Soeharto, 18 tahun pasca reformasi dari rezim BJ. Habibie, Gusdur, Megawati dan SBY. 50 tahun politik luar negeri Indonesia bebas aktif kehilangan roh yang sesungguhnya, sehingga 50 tahun praktek politik luar negeri lebih tunduk pada kepentingan dan mazhab ekonomi politik satu negara maupun lembaga keuangan yang super power, krisis tahun 1998, LoI yang ditandatangani oleh Megawati dan amandemen Undang-Undang Dasar yang mengikuti semangat liberalisasi adalah contoh akurat bahwa politik luar negeri Indonesia tidak bersemangat anti Imprealisme dan kolonialisme, tetapi kebalikannya, lewat politik luar negeri membiarkan perangkat hukum dan aparaturnya menjadi pelindung masuknya imprealisme dan membiarkan wilayah Indonesia menjadi pasar produk luar negeri, membiarkan kekayaan alam mengalir deras keluar negeri dan masyarakatnya kehilangan daya cipta kemudian memilih menjadi tenaga kerja yang murah.

Menghilangkan sifat anti Imprealisme dan kolonialisme pada politik luar negeri adalah sifat komunis-phoby, soekarno-phoby yangditunjukan pertama kali oleh Soeharto ketika naik kepanggung politik nasional, lahirlah Undang-Undang Penanaman Modal Asing (PMA), lahirlah PT. Freepot Indonesia (PTFI) dan lahirlah pelemahan seluruh sendi-sendi kekuatan politik nasional yang berorientasi pada anti Imprealisme dan Kolonialisme dibawah kendali pertumbuhan dan stabilitas, politik luar negeri Indonesia semakin condong ke barat. Akibatnya ketergantungan ekonomi terhadap pengirim bahan mentah menjadi ketergantungan tunggal, hutang luar negeri menjadi tiang utama struktur anggaran belanja negara. Hasil paling menyedihkan adalah ketika boom oil terjadi tahun delapan puluhan tidak mampu mengarahkan keuntungan menjadi industri dalam negeri yang berdikari, skandal korupsi menjadi gurita yang menakutkan pada birokrasi yang menggerakan negara, cerita akhirnya krisis ekonomi menjadi cerita bersambung yang tak berkesudahan.

Raksasa Asia seperti China dan India menjadi bipolar pada peta dunia membuat politik luar negeri Indonesia semakin oportunis dan membuka lebih lebar lagi seluruh penghalang arus masuk investasi asing, gagal dari IMF beralih kepada bank pembangunan infrastruktur China. Masyarakat Ekonomi Asean (MEA), Asean Economic Comodity (AEC) dan lain lain sebagainnya adalah hasil politik luar negeri bebas aktif yang telah berumur 50 tahun, setengah abad. Industri-indsutri yang berasal dari modal dalam negeri tidak hanya terancam derasnya investasi asing tetapi makin sulit mewujudkan kedaulatan ekonomi, indsutri yang berasal dari modal dalam negeri sulit bersaing dan berhadapan dua pilihan, bangrut atau menjualnya kepada investasi asing, Bank dan badan usaha pelat merah semakin sulit untuk merebut kembali seluruh kekayaan sumber daya alam yang dikuasai fihak asing, Pertamina dan pengalaman pengembalian blok mahakam, perpanjangan Kontrak Karya (KK) PTFI adalah kenyataan kelahan negara dan hukum, semua berawal dari praktek politik luar negeri bebas aktif.  

Nawacita Presiden Jokowi pada point pertama menyebutkan “ menghadirkan kembali negara untuk melindungi segenap bangsa dan memberikan rasa aman pada seluruh warga negara, melalui politik luar negeri bebas aktif, keamanan nasional yang terpercaya dan pembangunan pertahanan negara Tri Matra yang dilandasi kepentingan nasional dan memperkuat jati diri sebagai negara maritim”. Dalam prakteknya pun politik luar negeri bebas aktif versi Nawacita adalah status-quo dan memenangkan sumber daya alam dimeja perundingan bilateral dan multilateral, rasa aman kepada warga negara dan segenap tumpah darah semakin berdesak-desakan dengan tenaga kerja asing dipabrik-pabrik akibat pemberlakukan MEA, politik luar negeri bebas aktif untuk liberalisasi disegala bidang kehidupan dan sendi-sendi negara. Kerugian atas kepentingan nasional yang diderita oleh politik luar negeri bebas aktif antara lain pertama, tidak turut serta dalam memelihara perdamainan dunia, karena menurut Soekarno dasar dari politik luar negeri adalah menghilangkan sumber peperangan yakni nafsu ingin menguasai satu negara, dewasa ini menggunakan metode pinjaman luar negeri sembari melakukan tekanan, selama sumber utama tidak diperangi maka perdamaian dunia akan sulit terwujud, kata Soekarno. Kedua, Indonesia menjadi pertarungan idiologi dan modal antara raksasa, mudah terseret kasana-kemari dan kehilangan carakter nation sebagai sebuah bangsa yakni pancasila. Ketiga, Indonesia menghilangkan dirinya menjadi kekuatan politik seperti semangat Konfrensi Asia-Afrika pertama kali digelar di Bandung, prinsip yang aktif menuju kepada persahabatan segala bangsa .

Kalaupun Nawacita adalah semangat TRISAKTI Soekarno maka tiga sifat dan tiga kerangka politik luar negeri menjadi jalan utama membangun hubungan bilateral dan multilateral, sehingga politik luar negeri bebas aktif pengertiannya disempitkan dan dikerdilkan pada kasusitik seperti pada negara yang mengalami perang dan atau membutuhkan pengakuan kemerdekaan negaranya. Pidato Penemuan Kembali Revolusi Kita tahun 1959 dan Membangun Dunia Kembali (MDK)/  to build the word anew tahun 1960 oleh Soekarno menggaris tiga sifat dan tiga kerangka politik luar negeri, sifat pertama adalah mengabdi kepada perjuangan untuk kmerdekaan nasional Indonesia yang penuh, kedua mengabdi pada perjuangan untuk kemerdekaan nasional  dari seluruh bangsa-bangsa didunia dan ketiga adalah mengabdi pada perjuangan untuk membela perdamaian dunia. Tiga kerangka tersebut adalah pertama pembentukan satu negara Republik Indonesia yang berbentuk negara kesatuan dan negara kebangsaan yang demokratis, dengan wilayah kekuasaan dari Sabang sampai Marauke, kedua pembentukan satu masyarakt yang adil dan makmur materil dan sprituil dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Ketiga, pembentukan satu persahabatan yang baik antara Republik Indonesia dan semua negara di dunia, terutama sekali negara Asia-Afrika atas dasar hormat-menghormati satu sama lain, dan atas dasar bekerja-sama membentuk satu dunia yang bersih dari imprealisme dan kolonialisme, menuju perdamaian dunia yang sempurna.[***]

(Penulis adalah Ketua Partai Rakyat Demokratik Sulawesi Tengah)

Share this article :

0 komentar:

Jurnalsulteng.com on Facebook

 
Developed by : Darmanto.com
Copyright © 2016. JURNAL SULTENG - Tristar Mediatama - All Rights Reserved
Template by Creating Website
Proudly powered by Blogger