>
Headlines News :
Home » » Penulis Muda dan Refleksi Pengalamannya

Penulis Muda dan Refleksi Pengalamannya

Written By Unknown on Selasa, 18 Agustus 2015 | 07.50.00

Oleh: Adi Prianto, SH
(Catatan untuk Buku Ketiga Syarif Abdulah H. Harun)

SELAMAT Kepada Syarif Abdullah H. Harun yang telah menyelesaikan buku ketiga dengan judul MIMBAR PERJUANGAN; Jejak dan Catatan Kecil Aktivis Pergerakan Indonesia. Sebagai sebuah karya literasi buku dan penulisnya harus diberikan hormat yang setinggi-tingginya, kelemahan dari hampir keseluruhan kelompok pergerakan di Sulawesi Tengah terutama Kota Palu adalah menuliskan pengalaman-pengalaman pergerakan menjadi sebuah buku yang dapat menjadi dokumen outentik bagi generasi selanjutnya, kebanyakan kaum pergerakan di Sulawesi Tengah mengutamakan budaya tutur atas pengalamannya.

Di wilayah yang lain, terutama di kampus-kampus keinginan mahasiswa dalam menulis karya-karyanya masih ada, spektrum gerakan mahasiswa dan idiologinya masing-masing telah mencetak kader yang diatas rata-rata dalam menulis, ini dapat dibuktikan dengan media online dari organisasi seperti Pembebasan, Serikat Mahasiswa Indonesia Palu (SMIP) dan lain sebagainnya, tetapi soal kesempatan dalam membuatnya menjadi sebuah buku yang tidak ada, maka beruntunglah Syarif Abdullah H. Harun (selanjutnnya disebut Syarif) yang menggunakan seluruh koneksinya menjadi sebuah karya literasi.

Buku setebal 206+xxiv halaman berisikan rekam jejak aktifitas Syarif sebagai seorang mahasiswa dan pergumulannya dengan aktifitas keorganisasian, selain itu juga mencatat buah fikir dari seorang Syarif dalam melihat fenomena dan perkembangan situasi nasional dan daerah.

Dari dua puluh sembilan judul tulisan buku Syarif banyak mengutip langsung dari sumber literatur menyangkut pengertian-pengertian dan pandangan seperti Yudi Latief, Jhon Maxwel, Hermawan Sulistyo, Paulo Freire, S. Qamarulhadi, Prof. Dr. Kaelan, M.S, Pul Ricoeur, S. J. Arifin dan lain sebaginnya.

Hanya delapan judul tulisan dalam buku yang tidak mencantumkan kutipan yakni menolak romantisme balik konstruksi politik, politik kampus berbasis kerakyatan, testimoni tragedi kamis 2 oktober berdarah, arsitek gerakan mahasiswa, power of kepepet, menjiwai kebangkitan nasional dan gerakan politik rakyat.

Keresahan Syarif terhadap situasi nasional terkait isu gerbong gerakan mahasiswa yang berkeinginan menurunkan Jokowi-JK dan berakhir di meja makan istana negara, keresahan terhadap realitas politik dialam liberal, pertama ada elemen mahasiswa memiliki rasa hormat secara berlebihan kepada seniornya (alumni organisasi) yang saat ini berada diusaran organisasi. Kedua tidak sedikit organisasi kemahasiswaan yang menggantungkan hidupnya pada senior (alumni organisasi) sehingga daya kritisnya hilang, ketiga ada elemen mahasiswa/organisasi yang mendokrtin dirinya untuk melawan sistem karena mereka beranggapan sistem adalah kekuasaan tertinggi di “gugat” akan berkonsekuensi pada kelanjutan cita-cita individu organisasi (hal.106).

Syarif yang tumbuh dan berkembang diorganisasi mapan pada Universitas, kalimat senior dan junior bukan hanya dalam makna hubungan keorganisasian dikaderisasi tetapi sudah masuk pada hubungan sehari-hari, hubungan seperti inilah dalam pandangan Syarif harus dirombak, harus didudukan pada posisi yang tepat agar melahirkan kader dan gerakan yang tetap kritis digerbong mahasiswa itu sendiri.

Syarif berusaha menangkap lingkungan mahasiswa dan identitasnya kedalam pengertian yang lebih luas yang ditarik kedalam konteks gerakan, tempat pergaulan sehari-hari yang dilakukannya, menjadi pengurus Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM)  Universitas Tadulako (Untad) 2010-2011 dapat menjelaskan hal tersebut, mahasiswa adalah individu atau kelompok yang terdaftar pada perguruan tinggi negeri atau swasta mengikuti semester berjalan dan sadar akan hak dan kewajiban (hal 23).

Pembentukan identitas seorang mahasiswa bagi Syarif adalah melibatkan diri kedalam organisasi kampus, baik organisasi ekstra maupun internal kampus, kemudian memainkan peran tangung jawab kedalam bentuk gerakan kritik yang disebutnya parlemen jalanan dan menjadi penulis. Pembentukan identitas yang palipurna, pembentukan identitas yang memakan waktu yang lebih lama (hal 21). Seiring dengan perkembangan kampus-kampus kota Palu, terutama Universitas milik negara, pada penerimaan dan orientasi mahasiswa baru lebih diarahkan kepada tuntutan menjadi mahasiswa yang cepat selesai untuk masa studi, minimal lima tahun.

Permendikbud Nomor 49 tahun 2014 merupakan perangkat dari pergeseran dan upaya meminimalisir mahasiswa masuk kedalam organisasi kampus, 2000 mahasiswa Untad memprotesnya 9 Maret 2015 di hadapan Rektor, Syarif berkeinginan gerakan protes terhadap Permendikbud Nomor 49 tahun 2014 membentuk gerakan masa yang dipersatukan pada kesamaan keyakinan (hal 83).

Seluruh organisasi kampus, unit kegiatan kemahasiswaan dan atau organisasi politik internal kampus, dipersatukan dengan keresahan bahwa pembatasan masa kuliah lima tahun dan pemberlakuan Drop Out (DO) bagi mahasiswa yang masa kuliah lebih dari lima tahun merupakan portal bagi mahasiswa dalam mengasah keorganisasian dan terlibat penuh pada kegiatan ekstra kampus yang dijadwalkan oleh organisasi kampus.

Organisasi dalam kampus kehilangan gairah, mahasiswa rutinitas kampus-rumah-kampus dan begitu seterusnya sampai masa akhir studi, organisasi kehilangan peran kedalam kampus dan keluar sebagai fungsi Tri Darma perguruan tinggi; Pengabdian kepada masyarakat. Terjemahan pengabdian kepada masyarakat bergeser menjadi interpreuner, honorer, bekerja disektor non-formal yang rentan dengan PHK dan dibawah UMP.

Organisasi kampus menjadi racun bagi indivdu mahasiswa karena dicekoki sejak oreintasi mahasiswa baru, Permendikbud Nomor 49 tahun 2014 dan penyampaian lisan yang terus menerus dari dosen dan pegawai administrasi. Kegiatan politik kemahasiswaan terus ditinggalkan oleh mahasiswa, dari puluhan ribu mahasiswa Untad pada tahun 2010 mahasiswa dan dosen yang memberikan hak pilih pada pemilihan rektor sejumlah 1.538 orang, tahun 2011 mahasiswa STAIN Datokarama Palu pada pemilihan ketua BEM mahasiswa yang terlibat sejumlah 878 orang. Inilah yang ungkapkan Sarif bahwa mahasiswa kehilangan identitas sebagai kelompok mahasiswa yang memiliki fungsi agen analisis, sosial of control, dan agen of change. Syarif telah memberikan peta jalan untuk menghidupkan kembali politik kampus dengan dikembalikan kepada lembaga mahasiswa maupun mahasiswa non struktural (hal 110).

Student power adalah bangunan gerakan ekstraperlemen dari keseluruhan buku Mimbar Perjuangan, Syarif mengkonstruksikan gerakan menjadi gerakan yang pro terhadap isu-isu kerakyatan dengan spketrum dan idiologi yang beragam warna dengan titik tumpu pada mahasiswa sebagai corong perubahan, tentu dengan latar sejarah gerakan mahasiswa tahun 1998 yang menjadi kekuatan politik, ketika reformasi gerakan mahasiswa menjadi galau dan terpecah-pecah pada kepentingan masing-masing.

Gerakan mahasiswa menemui kenyataan perbedaan idiologi dan strategi taktik terhadap perkembangan politik nasional harus saling menuding dan menunjukan diri paling benar mengenai keyakinan atas jalannya dan capaian perubahan, liberalisasi politik akhirnya mengantarkan gerakan mahasiswa menjadi apolitis dan mendorong gerakan mahasiswa bekerja diareal domestik, konflik kekerasan antara organisasi menjadi tontotan grais bagi masyarakat maupun kelompok intelektual muda (hal. 53). Intellectual sphere menjadi kata kunci menyatukan semua peredaan, menyatukan perbedaan yang didasarkan kepada pelaku kunci pada organisasi gerakan mahasiswa, tidak beranggapan bahwa kehadiran oposisi adalah ancaman yang sangat berbahaya, tetapi beranggapan bahwa kehadiran oposisi merupakan cerminan dasar kemajuan sebuah wadah (hal 75). Kelemahan dari Student power adalah heroisme dan tidak membangkitkan people power, tidak mampu menjebol sistem lama dan membangun sistem baru ditengah-tengah masyarakat yang sedang hamil tua. Sehingga kebutuhan student power terjebak pada fase atau tahapan yang parsial dan sedari awal telah termoderasi, tahapan memperluas networking, penyajian data-data, propaganda konstruktif, audensi ketokoh lokal serta materi orasi “ menggugah” (Hal 117-120) bukan menjadi bagian dari memimpin dan menggerakan lautan massa rakyat, karena people power digerakan atas kesamaan cita-cita dan program politik yang terus dikibar-kibarkan partai politik, partai poloporlah yang membawa obor di depan masa rakyat, kata Soekarno pada risalah Mencapai Indonesia Merdeka.

Sekarang ini menjadi hari penentu bagi Syarif, setelah menyelesaikan masa pendidikan starata satu (S1) diperhadapkan kepadanya pilihan untuk tetap menjadi seorang pemikir pergerakan dan terus bekecimpung dengan politik ektraparlemen atau terus mengkplorasi dirinya menjadi seorang penulis fenomena sosial dari luar tanpa ada keberpihakan. Di lapangan kebudayaan nasional perdebatan antara Gelanggang Kebudayaan/Manifesto Kebudayaan versus Lembaga Kebudayaan Rakyat (LEKRA) terletak pada hasil karya kebudayaan, termasuk adalah buku dan penulisnya, tidak bebas nilai atau berdiri sendiri, kita tidak boleh sekonyong-konyong mengatakan bahwa menulis adalah kegiatan moderat.

Maka buah karya dari Syarif, juga buku ketiga, adalah keberpihakan kepada kelompok pergerakan ekstraparlemen dari gerbong gerakan mahasiswa, sebuah karya politik dari generasi muda yang mempersiapkan dirinya menjadi pemimpin politik masa depan, bukan politisi konfensional yang minim cita-cita, minim gagasan dan kering akan ide-ide segar.[***]

(Penulis adalah Ketua Partai Rakyat Demokratik Sulawesi Tengah)

Share this article :

0 komentar:

Jurnalsulteng.com on Facebook

 
Developed by : Darmanto.com
Copyright © 2016. JURNAL SULTENG - Tristar Mediatama - All Rights Reserved
Template by Creating Website
Proudly powered by Blogger