>
Headlines News :
Home » , » Perkebunan Sawit Membuat Petani Kehilangan Tanah

Perkebunan Sawit Membuat Petani Kehilangan Tanah

Written By Unknown on Kamis, 21 April 2016 | 15.28.00

Seminar dan Dialog Perubahan Agraria di Sulteng, di Hotel Sentral Palu, Selasa (19/4/2016). (Foto: YTM)

Palu, Jurnalsulteng.com- Persoalan agraria di Sulawesi Tengah (Sulteng) bukan hanya masalah ketimpangan penguasaan tanah, tetapi menjadi  dinamika yang kompleks dan menjadi masalah yang kronis.

"Bukan hanya di Sulteng, tetapi hampir semua daerah di Indonesia. Para petani sudah saling menghisap satu sama lainnya. Kehadiran perkebunan sawit di Sulteng membuat petani kehilangan tanah dan terpaksa bekerja di perusahaan sawit," kata Direktur Pelaksana Yayasan Tanah Merdeka (YTM) Marianto Sabintoe, pada Seminar dan Dialog  Perubahan Agraria di Sulawesi Tengah, yang digelar di Hotel Sentral Palu, Selasa (19/4/2016).
(Baca Juga: Lima Anak Perusahaan AAL di Sulteng Belum Kantongi HGU )

Seminar dan Dialog yang diselenggarakan Yayasan Tanah Merdeka itu dihadiri sejumlah aktivis Lembaga Swadaya Masyarakat, Mahasiswa, akademisi Universitas Tadulako dan peserta dari berbagai daerah.

Senada dengan Marianto, penelis Doni Moidady mengatakan, perubahan agraria di Sulteng saat ini sedang berlangsung dimana-mana. "Para petani beralih dari pertanian yang sifatnya subsisten menjadi petani yang berbasis pada komoditas. Hal ini sudah berlangsung panjang bahkan sejak kolonialisme," ujarnya.

Doni mengatakan, dari hasil penelitian yang dilakukannya di wilayah perkebunan kelapa sawit PT. Wira Mas Permai (Kencana Agri Group) di Kabupaten Banggai, memperlihatkan kecenderungan itu.

Para petani beralih menjadi buruh di perusahaan sawit, baik karena perampasan tanah yang dilakukan secara paksa oleh perusahaan maupun karena kemiskinan petani, seperti kebutuhan mendapatkan uang tunai untuk kebutuhan menyekolahkan anak dan kebutuhan lainnya.

"Dorongan ini yang akhirnya membuat para petani kita memilih untuk bekerja di perusahaan sawit, ketimbang mengintensifkan kebunnya sendiri. Sebab para petani tidak memiliki modal untuk merawat kebunnya dan juga karena pengetahuan bertani yang belum maju," jelasnya.

Menanggapi hasil penelitian YTM, Ruth Indiah Rahayu mengatakan, aspek penting yang juga harus diperhatikan dalam melihat masalah agraria adalah posisi perempuan dan anak-anak.

"Perempuan seringkali dipekerjakan dengan upah murah, waktu kerja yang panjang dan pengabaian terhadap kesehatan mereka. Ini yang seringkali terjadi di perusahaan sawit maupun tambang," pinta aktivis yang akrab disapa Yuyut ini.

Sementara itu, Kepala Seksi Penetapan Hak Tanah Badan Hukum, Badan Pertanahan Nasional (BPN) Sulteng, Mardianto, S.S.T,
menyatakan perubahan agraria juga seringkali merubah kebijakan pemerintah, berkaitan dengan penguasaan tanah.

Tugas BPN adalah memberikan kepastian hukum kepada masyarakat melalui pemberian sertifikat. "Sertifikat tanah penting dilakukan guna memberikan legitimasi hukum kepada masyarakat," ujarnya.

Mardianto menegaskan, pengurusan sertifikat tidak sulit dan tidak dipungut biaya kecuali dalam proses pengukurannya.

"Karena dengan adanya sertifikat, dapat memberikan kesejahteraan masyarakat," tegasnya.

Demikian siaran pers Yayasan Tanah Merdeka yang diterima Jurnalsulteng.com, Kamis (21/4/2016). (***)

Penulis; Sutrisno/*
Editor; Agus M.
Share this article :

0 komentar:

Jurnalsulteng.com on Facebook

 
Developed by : Darmanto.com
Copyright © 2016. JURNAL SULTENG - Tristar Mediatama - All Rights Reserved
Template by Creating Website
Proudly powered by Blogger