Oleh : Adi Prianto, SH
CAP Karung (Cakar), KW adalah istilah yang sangat akrab pada kalangan rakyat kelas bawah, tidak hanya rakyat miskin kota tetapi telah meluas sampai ke desa-desa. Sudah menjadi trade mark kelas bawah menggunakan seragam Cakar, dari kaos kaki, dasi, jas, sepatu, celana, kemeja, pakaian dalam sampai pada sarung bantal. Tempat penjualan Cakar ibarat gula yang dikerumuni semut ketika datang hari-hari besar seperti Hari Raya Idul Fitri dan hari-hari besar lainnya, karena hanya tempat penjulan Cakar harga-harga dapat dijangkau untuk mentaktisi pengeluaran rumah tangga akibat kepungan harga sembako yang melangit, sudah jadi kebiasaan ketika mendekati Hari raya harga sembako melejit yang diikuti juga oleh pakaian dan lain sebagainya.Ketika pemerintah pusat mengatakan bahwa ada kandungan berbahaya dari pakaian Cakar yang diimpor ke dalam negeri, jauh sebelumnya rakyat telah memiliki cara mengatasinya, kebiasaan secara umum rakyat setelah selesai membeli pakaian Cakar mereka akan mencuci dan menjemurnya, itu dilakukan secara berulang-ulang sampai mereka merasa sudah aman. Ada cara yang lebih ektrim, pakaian cakar direbus dalam suhu tertentu dan kemudian mencucinya. Murah dan berkualitas, itulah jawaban yang selama ini merasuk pada kesadaran rakyat ketika ditanyakan mengenai pakaian Cakar, kualitas pakaian cakar menjadi penanda bahwa rakyat masih punya jeda yang lama untuk membeli pakaian baru lagi.
Alasan utama pemerintah pusat untuk membatasi impor pakaian bekas menjadi sangat kontra-produktif dan cenderung menyesatkan opini ketengah-tengah rakyat, andaikan mengandung bahan berbahaya dan mematikan tentu 28 juta rakyat di Indonesia yang tergolong rakyat miskin (BPS; Maret 2014) akan mati seketika sepuluh tahun belakangan ketika izin impor pakaian bekas dibuka lebar-lebar oleh pemerintah pusat. Benar dewasa ini produk tekstil yang di kelola secara mandiri oleh pengusaha kelas menegah begitu membanggakan juga merabah pasar eropa tetapi itu hanya 0,2% dari jumlah kebutuhan tekstil dunia, di Indonesia khusunya kalangan muda pernah mengenal brand Dagadu yang diproduksi di Kota Jogja, Joger di Bali dan C59 dari Bandung, bahkan ketika menjamurnya metode Distro dan Clothing Kota Bandung menjadi sentral produksinya. Dari sini kemudian terkenal PSD, Anomali, BlackID yang sampai di pasar Autralia dan digunakan oleh musisi dunia seperti Marron5 dan Yellow Card dan artis Indonesia seperti Ungu dan The Rock Indonesia, dari penelusuran penulis ada sekelompok anak muda kota Palu sedang mengembangkan brand Kelor sebagai identitas produk mereka.
Siapa yang tidak tahu kalau Indonesia selain surga pembajakan brand juga menjadi surga barang bekas, dari maspakai penerbangan, laut dan darat semua perkakas utamnya adalah barang bekas dari negara lain. Negara belumlah bergeser pada kebangkitan produksi dalam negerinya, walau silih berganti rezim dan pemerintah pasca reformasi kebijakan pengadaan barang dan impor pakaian bekas menjadi satu-satunya dan terus menjadi garis kebijakan tetap. Kebijakan seperti ini akan menghasilkan kebocoran dimana-mana, pemerintah pusat dan Provinsi secara tidak langsung telah membukanya ke publik, banyaknya broker sehingga sebagian impor pakaian bekas tidak tercatat pada bea dan cukai, selama negara tidak melakukan kebijakan yang tegas maka gratifikasi kepada pelaksana pemungut pajak impor dan birokrasi akan terus terjadi, terus-menerus sehingga membentuk lingkaran setan dari tingkatan bahwa dan atas. Eskses lainya adalah pedagang pakaian bekas itu sendiri, karena sejak awal kebijakan pemerintah tidak tegas atas impor pakaian bekas pedagang pakaian bekas telah meluas kemana-mana dan para pedagang telah menikmati hasilnya secara besar.
Krisis Identitas Nasional
Sangat remeh dan kecil bagi sebagian orang melihat dampak negatif pakaian bekas terhadap kesadaran utama rakyat, kebanyakan orang dan intelektual kampus memberikan argumentasi positif bahwa dengan pakaian bekas bisa menolong rakyat miskin ke bawah, artinya kebijakan impor pakaian bekas sejalan dengan kebutuhan mayoritas rakyat miskin yang gap sangat luas dan kurang memiliki daya beli diakibatkan pendapatan minim. Dengan adanya impor pakaian bekas dapat mendorong tingkat pembelian rakyat yang dibarengi dengan pola subsidi karitatif seperti Raskin, Kartu Sehat dan lain sebagainnya. Sampai saat ini tidak ada satupun yang berani mengatakan bahwa impor pakaian bekas yang dilakukan adalah program dari imprealisme untuk menghancurkan alam pikir rakyat, baik itu pemerintah, pakar, LSM, media cetak dan elektronik. Karena alasan murah dan berkualitas kemudian membentuk budaya inlander secara terstruktur dan sistematis kebawah alam sadar rakyat miskin, sehingga anggapan rakyat segala sesuatu yang berasal dari luar, dalam hal ini prodak dan kebudayaan, sangat baik dan bermanfaat, membentuk watak rendah diri.
Ada setitik harapan untuk membangkitkan industri tekstil Indonesia sebagai proyek membangkitkan identitas dan kebanggaan nasional yakni lewat Distro dan Clothing yang kebanyakan digerakan oleh anak-anak muda yang kreatif, tapi sayang prodak distro tersebut memagari dirinya menjadi ekslusif dan tidak masal, harga prodaknya pun masih sangat sulit dijangkau oleh rakyat miskin kebanyakan. Sehingga Distro dan Clothing yang diproduksi dan dipasarkan secara gerilya oleh anak-anak muda jatuh kepada sifat komersil, kalaupun telah menembus kepasar luar negeri itu tidak lebih dikarenakan usaha sendiri, bukan didorong oleh kebijakan pemerintah dan kepemimpinan nasional, distro dan cloting tidak mampu mengikis budaya inlander yang sudah begitu meluas dilapangan kebudayaan. Baru-baru ini pemerintahan Jokowi menepakan industri ini sebagai industri kreatif, tidak menjadi salah satu fondasi industri untuk dikembangkan menjadi program indsutrialisasi dalam negeri, industri tekstil masih menjadi anak bawang pada rezim saat ini.
Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) menyebutkan hambatan utama dari kemajuan industrialisasi tekstil dan produk tekstil (TPT) dalam negeri adalah pertama pasar tekstil di Indonesia dibanjiri oleh impor tekstil yang telah meluas dan mengusai pangsa pasar sejumlah 95% . kedua ialah mahalnya biaya listrik industri dan tidak mendapatkan subsidi dari pemerintah, biaya tarif listrik di Indonesia tergolong sangat mahal dibandingkan dengan negara-negara Asean dan faktor terakhir adalah pemerintah Indonesia cenderung didikte oleh lembaga-lembaga asing akibat dari kerjasama multirateral seperti Word Trade Organization (WTO), akibatnya seluruh prodak-prodak hukum yang dihasilkan oleh pemerintah sangat membungkuk dan mengikut selera dari lembaga-lembaga asing. Hasilnya pertumbuhan industri tekstil hanya mencapai 6,06% (BPS 2013) dari total pertumbuhan ekonomi nasional, ini menandakan bahwa industri tekstil dibiarkan hidup oleh negara tanpa harus mematikannya. Tidak berkembang dan membuat mundur indsutri tekstil dalam negeri adalah gejala yang digambarkan oleh Bung Karno sebagai strategi dari imprealisme, pertama; Indonesia tetap menjadi negeri pengambilan bekal hidup, kedua; Indonesia menjadi negeri pengambilan bekal-bekal untuk pabrik-pabrik eropa, ketiga; Indonesia menjadi negeri pasar penjualan barang-barang hasil dari pada macam-macam kepemilikan asing dan keempat; Indonesia menjadi lapangan usaha bagi modal yang ratusan, ribuan-miliunan rupiah jumlahnya (Soekarno; Indonesia Menggugat, 1930).
Sekali lagi ini soal pasar, kebijakan pemerintah melarang impor pakaian bekas tidak berdiri sendiri dan murni keinginan untuk membangun proyek industrialisasi nasional, bisa jadi pelarangan impor pakaian bekas terkait masuknya brand dari luar dan dibawah tekanan lembaga-lembaga internasional. Ada brand tertentu yang berasal dari luar ingin merebut pasar rakyat miskin yang begitu banyak dan merata disemua pulau Indonesia, dari kota hingga ke desa. Rakyat kita kemudian didorong menjadi konsumtif dan menjadi buruh dinegerinya sendiri, kebijakan Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) yang berlaku 2015 tidak akan banyak menolong rakyat kita untuk bisa menguasai sektor produktif, mayoritas rakyat kita di Sulawesi Tengah tidak bekerja disektor produktif, kita mengambil contoh kota Palu, ada 46.000 orang warga di Kota Palu yang bergantung kerja di lembaga pemerintah (Dukcapil Kota Palu 2013), jelas tidak akan mampu berkopetisi dengan tenaga kerja dari luar yang memiliki skil dam komptensi. Pemerintah Provinsi maupun pemerintah kabupaten/kota tidak berdaya dalam menghadapi gelombang liberalisasi yang dibuka oleh pemerintah pusat, program sharing APBD untuk mensubsidi rakyat miskin (seperti contoh program zero poverty) akan menjadi gencar dilakukan sebagai upaya maksimal dari Pemerintah Provinsi dan pemerintah kabupaten/kota agar rakyatnya tidak mati oleh cekikan liberalisasi.
Penutup
Revolusi mental yang didengungkan oleh Jokowi selama masa Pilpres seperti panggilan yang tidak terjawab, gayung yang tidak bersambut oleh masa rakyat, Revolusi Mental tidak dibangkitkan dengan cara-cara simbolis seperti blusukan atau foto silfie dengan rakyat. Revolusi mental itu adalah melakukan proteksi pasar dalam negeri dan membangkitkan industri dasar dalam negeri seperti industri baja, tekstil dan gas. Menguasai produksi dan distribusi oleh badan swasta yang dimiliki oleh negara, sehingga keuntungan yang didapatkan digunakan untuk membangun sektor produktif lainnya, selama sektor-sektor produktif tersebut diserahkan pengelolaannya kepada pihak asing maka keuntungan menjadi milik pihak asing. Jangan sampai revolusi mental a la Jokowi adalah liberalisasi dan pembangunan infrastruktur seperti tol laut dibangun oleh pinjaman hutan luar negeri, Revolusi Mental Jokowi harus kita dorong menjadi sebuah kebanggan nasional yakni kepribadian bangsa dengan mendorong produksi nasional menjadi kebanggaan bangsa Indonesia.***
(Penulis adalah Ketua PRD Sulawesi Tengah)
0 komentar:
Posting Komentar