Ilustrasi |
Pajak merupakan salah satu sumber utama dalam penerimaan negara. Penerimaan pajak, yang meliputi pemasukan pajak serta bea dan cukai, juga termasuk tulang punggung anggaran negara. Dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (APBNP) 2015, penerimaan perpajakan ditargetkan sebesar Rp1.489,3 triliun atau hampir 80% dari total penerimaan negara.
Memang berat, pemerintah dan lembaga-lembaga negara lainnya terlalu banyak ribut di bidang politik dan hukum, sehingga lalai terhadap ancaman di bidang ekonomi. Padahal stabilitas APBN menghadapi ancaman serius akibat depresiasi rupiah dan anjloknya harga minyak.
Menurut ekonom Dradjad Wibowo, dari sumber-sumber pemerintah menunjukkan, penerimaan pajak per 24 Maret 2015 baru mencapai Rp 172.06 triliun, atau 13,29% dari target Rp1.489,3 triliun. Dalam hal PPh non-migas, dari target Rp 671,2 triliun, realisasinya baru Rp107 triliun atau sekitar 16%. Sementara untuk PPN baru terealisasi Rp 63,3 triliun atau sekitar 11% dari target Rp 576,5 triliun. Sisanya adalah dari pajak-pajak yang lain.
Hal yang lebih mengkhawatirkan, realisasi penerimaan pajak 2015 ini bahkan lebih rendah dari realisasi 2014 untuk periode sama. Selama Januari-Februari, misalnya, realisasi 2015 hanya sekitar 60% pada 2014. Selama Maret 2015, hingga 24 Maret baru terealisasi Rp39 triliun.
"Dengan anjloknya penerimaan negara bukan pajak (PNBP) dari migas, maka penerimaan negara dan APBN boleh dikatakan sudah berada di lampu merah," kata ekonom senior Dradjad H Wibowo.
Mustinya, dengan meningkatnya target penerimaan pajak dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (RAPBN-P) 2015, maka Kemenkeu harus berusaha lebih keras untuk merealisasikannya.
Dalam hal ini, Menteri Keuangan Bambang P.S. Brodjonegoro mengungkapkan, pemerintah sudah melakukan berbagai upaya agar target tersebut dapat terpenuhi.
Langkah pertama yang dilakukan pemerintah adalah dengan perbaikan birokrasi dan struktur organisasi Direktorat Jenderal Pajak (DJP). Kedua, pemerintah juga akan menertibkan administrasi perpajakan melalui penerapan tax invoice, khususnya untuk pajak pertambahan nilai (PPN).
Pemerintah juga harus memperbaiki administrasi perpajakan melalui penerapan tax invoice, khususnya untuk mencegah kebocoran di penerimaan PPN, yang selama ini ternyata menjadi sumber kecilnya potensi penerimaan pajak, mengingat banyak PPN yang kemudian restitusi tanpa dasar yang jelas.
Pemerintah juga harus memaksimalkan upaya pencegahan transfer pricing, untuk mencegah penghindaran pembayaran pajak dengan benar oleh perusahaan. Pencegahantransfer pricing untuk mencegah perusahaan yang seharusnya bayar pajak kemudian tidak membayar pajak dengan benar karena menggunakan tax planning yang kita kenal sebagai transfer pricing.
Selain itu, pemerintah juga musti meningkatkan penegakan hukum yang difokuskan pada penerapan cekal ke luar negeri serta paksa badan (gijzeling). Yang tidak kalah penting, pemerintah juga akan melakukan upaya intensifikasi dan ekstensifikasi untuk memaksimalkan penerimaan perpajakan.
Namun kecenderungan atau tren menunjukkan shortfall (anjloknya) penerimaan pajak 2015 bisa sangat besar sekali, yang berpotensi terbesar dalam sejarah, yaitu antara Rp270-360 triliun.
Dengan kondisi demikian ini, pemerintahan Jokowi-JK musti bekerja cerdas, ekstra keras dan focus agar penerimaan negara dan APBN tak mengalami bahaya dan krisis yang bisa menimbulkan ekses destabilisasi ekonomi-politik. Tidak mudah bukan? [Inilah]
0 komentar:
Posting Komentar