Pertambangan Nikel di perbukitan Bahodopi, Morowali (Ilustrasi) |
“Secara umum, hasil Renegosiasi yang ditetapkan pemerintah pusat merugikan Provinsi Sulteng dalam mendorong industrialisasi. Dari total Penciutan lahan PT. Vale Tbk seluas 75 ribu Ha, lebih banyak berada di Sulawesi Selatan (Sulsel). Sedangkan di Sulteng, PT Vale hanya melepas lahannya seluas 7.000 Ha, yang terdiri dari 4.000 di blok Ganda-ganda dan 3.000 Ha di blok Bahudopi,” terang Ketua Komite Pimpinan Wilayah Partai Rakyat Demokratik (KPW-PRD) Sulawesi Tengah, Adi Prianto, SH dalam rilisnya yang diterima Jurnalsulteng.com, Jumat (24/10/2014).
Dalam renegosiasi kontrak karya tersebut menghasilkan enam poin diantaranya, PT. Vale Tbk harus melepas lahanya seluas 75 ribu Ha menjadi Wilayah Usaha Pertambangan Khusus (WIUPK) dan Wilayah Pencadangan Negara (WPN). Selain itu, PT Vale juga wajib membayar royalti kepada negara sebesar 2% dari penjualan. Apabila harga nikel mengalami kenaikan, royalty yang wajib dibayar sebesar 3 %.
Menanggapi hasil kesepakatan tersebut, PRD menyatakan menolak hasil renegosiasi yang dihasilkan pemerintahan pusat rezim SBY. Adi mengatakan, penolakan itu bukan tanpa alasan, tapi karena PT. Vale hanya menempatkan blok Bahudopi sebagai pembangunan pabrik pengeringan nikel, yang hanya menyerap sedikit tenaga kerja di Sulteng.
“Sementara, lahan-lahan PT. Vale Tbk yang berada di Morowali, dalam jangka 5-10 tahun mendatang hanya akan menjadi lahan tandus yang tidak produktif, sehingga tidak dapat memberikan kesejahteraan langsung kepada rakyat lingkar tambang,” ujarnya.
Menurut Adi, PRD juga meminta kepada Gubernur Sulteng untuk memberikan penjelasan secara detail kepada rakyat, terkait lemahnya posisi tawar kepada perusahaan dan pemerintah pusat dalam proses pelepasan lahan yang berada di Sulteng.
“Kami juga mendorong agar pemerintah Provinsi menguasai skema divestasi saham sejumlah 20% dengan kosepsi menggunakan Perusahaan Daerah, sehingga hasilnya dapat dirasakan rakyat Sulteng,” tegasnya.[Trs]
0 komentar:
Posting Komentar