Ilustrasi |
Pengamat politik dari Universitas Jayabaya, Igor Dirgantara, mengatakan hal itu memang menjadi dilema. Di satu sisi, dalam sebuah negara demokratis, lembaga survei jelas dibutuhkan dan tentu saja harus bisa diselidiki secara resmi jika disinyalir ada pelanggaran.
Lembaga survei itu, kata Igor, juga harus bisa dievaluasi profesionalitasnya jika menyalahi kode etik dalam wadah asosiasi yang bersangkutan, dengan memberi informasi tambahan terkait risetnya.
"Tapi di sisi lain dalam Pilpres, lembaga survei juga cenderung komersial dan terbelah di pusaran dukungan terhadap salah satu capres (sebagai konsultan politik). Begitu juga para pengurus asosiasi yang mewadahi lembaga survei tersebut. Akibatnya masyarakat pun cenderung meragukan independensi mereka," papar Igor yang dikutip dari Rakyat Merdeka Online, Rabu (16/7/2014)
Igor juga menyinggung adanya pernyataan sebuah lembaga survei yang mengatakan hasil survei lembaganya pasti benar sehingga hitungan resmi KPU harus sesuai hitungan surveinya. Menurutnya, hal itu malah membuat publik bingung dan bernada menggiring opini masyarakat.
"Menurut saya, audit lembaga survei yang melakukan quick count tersebut sebaiknya dilaksanakan pasca pengumuman real count dari KPU nanti tanggal 22 juli oleh asosiasi yang bersangkutan. Tentunya dengan mengundang pakar statistik dari kampus atau BPS," demikian Igor.[Rmol]
0 komentar:
Posting Komentar