>
Headlines News :
Home » , » Menakar Calon Kapolri Pilihan Istana dan Senayan

Menakar Calon Kapolri Pilihan Istana dan Senayan

Written By Unknown on Senin, 13 Juni 2016 | 00.13.00

Setidaknya ada delapan nama kandidat yang santer disebut, mulai dari Budi Gunawan hingga calon termuda Tito Karnavian akan menggantikan Badrodin Haiti. (Foto: Antara)

Jakarta, Jurnalsulteng.com - Pergantian Kepala Polisi Republik Indonesia kali ini dinilai sejumlah pengamat mampu memicu ketegangan politik antara pilihan kelompok Istana dan Senayan (DPR RI). Meskipun penentuan Kapolri merupakan hak prerogatif presiden, kekuatan politik dari banyak kubu ikut mempengaruhi keputusan Jokowi.

Pengamat kepolisian Hermawan Sulistyo berpendapat presiden tidak perlu terbebani dengan usulan yang diberikan Komisi Kepolisian Nasional, Dewan Jabatan dan Kepangkatan Tinggi Polri, maupun DPR. Tanpa pertimbangan mereka, penentuan Kapolri tetap menjadi pilihan presiden.

"Kenapa harus mempertimbangkan Wanjakti, Kompolnas dan DPR, buang saja semua ke laut enggak apa-apa," ujar Hermawan saat diskusi publik Mencari Sosok Kapolri: Senayan vs Istana di kantor PARA Syndicate, Jakarta Selatan, Jumat (10/6/2016).

Wacana pergantian Kapolri menyusul masa pensiun Kapolri Jenderal Badrodin Haiti yang akan berakhir pada 24 Juli 2016. Namun Hermawan mengatakan, tidak ada aturan yang menyebutkan Kapolri harus mengundurkan diri ketika masa dinasnya sebagai polisi telah habis.

Selama presiden tidak melakukan pergantian Kapolri, Badrodin dianggap tetap bisa menjalankan tugasnya sebagai memimpin korps Bhayangkara.

"Tidak ada satu pun aturan Kapolri harus berhenti kalau masa dinas selesai. Aturan yang ada adalah calon Kapolri harus perwira aktif. Jadi kalau didiamkan saja ya tidak apa-apa," katanya.

Dalam kesempatan itu, peneliti tamu di PTIK ini mengaku pernah berbincang dengan Badrodin soal pergantian Kapolri. Hermawan menceritakan kegalauan yang dicurahkan Badrodin.

Jokowi Belum Putuskan Perpanjang Masa Pensiun Badrodin
"Saya pernah bicara dengan Badrodin. Dia bilang 'Mas, aku ini sudah di ujung pengabdian. Karirku bagus tanpa cela, aku diminta pimpin Polri satu setengah tahun di titik yang sangat kritis dan berhasil. Kalau ditambah setahun ada jaminan tidak aku turunnya enak?'," ungkap Hermawan.

Profesor Riset Bidang Perkembangan Politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) ini mengatakan, pada dasarnya Badrodin ragu jika ditawarkan melanjutkan kepemimpinannya.

Menurut Hermawan, hal itu wajar karena karier yang dirintis Badrodin selama 35 tahun akan jancur jika diujung masa kepemimpinannya berakhir buruk. Secara pribadi, Badrodin akan dirugikan.

"Pak Badrodin ragu dan dia menolak sebetulnya," ujar lelaki yang biasa disapa Kiki. Hermawan pun menyarankan agar Badrodin menanyakan kepada presiden tentang rencana perpanjangan masa jabatannya.

"Itu tawaran atau perintah. Kalau tawaran ya tolak. Kalau perintah, ya tidak bisa Kapolri menolak perintah presiden," ucap Hermawan.

Saat ini delapan nama calon Kapolri telah diserahkan Kompolnas kepada presiden. Mereka di antaranya Wakapolri Komjen Budi Gunawan, Kepala BNN Komjen Budi Waseso, Kabaharkam Komjen Putut Bayu Seno, Irwasum Komjen Dwi Priyatno, Kalemdikpol Komjen Syafrudin, Sestama Lemhanas Komjen Suhardi Alius, Kabareskrim Ari Dono, dan Kepala BNPT Komjen Tito Karnavian.

Hermawan menilai semua calon Kapolri itu tak memiliki prestasi yang menonjol dan terbilang standar. Mereka juga memiliki kendala masing-masing.

Budi Gunawan merupakan satu-satunya calon yang masih memiliki tiket menjadi Kapolri karena telah memenuhi syarat normatif. DPR tak pernah mencabut hasil sidang pleno dalam pemilihan Kapolri sebelumnya, dimana Budi Gunawan mendapat dukungan dari parlemen, khususnya Fraksi PDI Perjuangan.

"Tapi masalahnya akan menimbulkan kegaduhan lagi atau enggak. Presiden kan enggak mau gaduh-gaduh," katanya.
"Apakah pembantu terdekat presiden mau menerima Budi Gunawan sebagai Kapolri?"

Sementara Komjen Budi Waseso dinilai bermasalah lantaran tidak pernah menjabat sebagai Kapolda bintang dua. Dalam aturan Wanjakti Polri, kata Hermawan, syarat seseorang menjadi Kapolri harus pernah memegang jabatan itu.

Komjen Putut Eko Bayuseno secara politis memiliki kesulitan untuk dipilih sebagai Kapolri karena pernah menjadi ajudan Susilo Bambang Yudhoyono. Mantan presiden itu kini tidak lagi berada di arena utama politik.

Komjen Dwi Priyatno merupakan satu angkatan dengan Kapolri Badrodin Haiti. Selama ini, menurut Hermawan tidak pernah ada Kapolri digantikan oleh angkatan yang sama.

Komjen Syafrudin berulang kali menyampaikan secara terbuka bahwa dirinya tidak berminat menjadi Kapolri. Menurut Hermawan, dia pernah mengumpulkan semua anggota Polri yang memiliki potensi menjadi calon Kapolri dan menyatakan dirinya tak akan maju dalam bursa pemilihan.

Komjen Suhardi Alius disebut Hermawan menyatakan sudah nyaman dengan posisinya saat ini sebagai Sekretaris Utama Lemhannas. Dia dianggap punya cacat politik waktu ada kasus Obor Rakyat.

Ari Dono dinilai sosok yang pendiam dan tidak pernah diperhitungkan. Namun karakter pendiam, kata Hermawan, bukan berarti tidak bisa menjadi Kapolri. Mantan Kapolri Jenderal Sutarman pun memiliki karakter pendiam. Akpol angkatan 1985 itu saat ini menjabat sebagai Kabareskrim.
(Baca Juga: Mantan Kapolda Sulteng Berpeluang Jadi Kapolri )

Komjen Tito Karnavian merupakan calon yang paling muda. Dia Akpol angkatan 1987. Berbeda lima tahun dengan Badrodin sehingga dinilai terlampau jauh. "Apa mungkin melompati lima angkatan?" kata Hermawan.

"Kalau lihat begini, memang hanya Jokowi sama Tuhan saja yang tahu siapa Kapolri selanjutnya," kata Hermawan.

Menurutnya, siapa pun yang menjadi calon Kapolri tidak begitu penting. Bagi Hermawan, yang terpenting adalah mereka harus mengetahui problem yang dihadapi Polri pada masa kepemimpinannya nanti.

Masalah Polri saat ini, kata Hermawan, adalah persoalan mental sumber daya manusianya. Selain itu, jumlah anggota Polri sekitar 430 ribu berbanding jauh dengan jumlah penduduk di Indonesia.

"Yang ikut rekrutmen Polri itu orientasinya cari pekerjaan, kaya, tak tersentuh hukum. Problem ini disadari kepolisian. Masalahnya siapa yang bisa mengeksekusi itu," katanya.

Pada kesempatan yang sama peneliti senior PARA Syndicate Jusuf Suroso mengatakan, hampir semua aktivitas publik tidak pernah lolos dari pengawasan polisi, setidaknya ada izin polisi atau pantauan.

"Itu sebabnya ada perebutan pengaruh antara eksekutif dan legislatif mana kala Kapolri harus diganti," katanya.

Perebutan pengaruh dalam pergantian Kapolri, kata Jusuf, memberikan beban bagi yang bersangkutan nantinya untuk balas jasa kepada partai politik pendukung. Ketergantungan itu akan berdampak pada pelaksanan tugas polisi.

"Akibatnya polisi tidak independen lagi. Dalam banyak hal akan tebang pilih. Sementara tuntutan masyarakat kita polisi harus independen, kalau berpolitik pasti kacau," ujar Jusuf. [***]

Source; CNNIndonesia
Share this article :

0 komentar:

Jurnalsulteng.com on Facebook

 
Developed by : Darmanto.com
Copyright © 2016. JURNAL SULTENG - Tristar Mediatama - All Rights Reserved
Template by Creating Website
Proudly powered by Blogger