Para petinggi pemerintahan disebut memiliki sikap dan tindakan yang berbeda menanggapi isu penyebaran komunisme. (ANTARA) |
Jakarta, Jurnalsulteng.com- Pejabat di pemerintah pusat disebut tidak satu sikap dalam mengatasi isu pelarangan aktivitas yang dianggap menyebarluaskan paham komunisme, marxisme, dan leninisme.
Menurut peneliti politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Irine Gayatri, perbedaan sikap antara para pemegang otoritas itu merupakan bukti bahwa pemerintahan saat ini tidak solid.
Irine menyoroti sejumlah pejabat negara yang menurutnya tidak menjalankan arahan Presiden Joko Widodo dalam isu penyebaran komunisme.
"Beberapa saat setelah peristiwa pemberangusan buku, Presiden langsung instruksi agar jangan kebablasan. Ada posisi yang berbeda. Presiden bilang apa, Menko Polhukam bilang apa, Menteri Pertahanan bilang apa, Jaksa Agung bilang apa," kata Irine di kawasan Cikini, Jakarta, Senin (23/5/2016).
Walau beberapa waktu belakangan marak terjadi pelarangan aktivitas dan pemusnahan buku-buku beraliran 'kiri', namun Irine memandang pemerintahan kali ini berbeda dengan pemerintahan Orde Baru yang telah tumbang 18 tahun silam.
Menurut Irine, pada era Orde Baru dulu Pemerintah cenderung bersikap menutup-nutupi ketidakharmonisan di masyarakat. Namun, saat ini disharmoni justru terkesan ditunjukkan negara karena kebijakan dan peraturan yang dikeluarkannya sendiri.
Parpol Diam
Dalam kesempatan yang sama Irine juga menyoroti sikap partai politik bungkam saat ancaman kebebasan berekspresi marak terjadi.
Menurutnya, partai politik seharusnya menegur para penegak hukum yang melanggar hak kebebasan berekspresi dan berpendapat.
"Di mana mereka ketika ada ancaman terhadap diskursus masyarakat? DPR juga tidak aktif menegur penegak hukum yang melanggar instruksi Presiden," katanya.
Senada, Deputi Direktur ELSAM Wahyudi Djafar menilai larangan penyebaran paham komunisme, marxisme, dan leninisme sudah tidak sesuai dengan perkembangan ideologi di zaman sekarang.
Apalagi, kata dia, perang dingin antara negara penganut komunisme dan kapitalisme tidak lagi terjadi.
"Sebenarnya ancaman aktual yang harusnya dinarasikan negara dan harus sesuai dengan kepentingan geo-politik hari ini," ujar Wahyudi.
Sebelumnya, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Luhut Binsar Pandjaitan menyebut larangan terhadap diskusi marxisme, leninisme, dan komunisme akan menghambat kecerdasan berpikir masyarakat. Ia berkata, kajian ideologi tidak boleh dibatasi.
"Masa secara akademis orang enggak boleh mengkaji, nanti lama-lama jadi bodoh," ujar Luhut di Jakarta, Jumat (20/5/2016).
Sementara itu, Kepala Polri Jenderal Badrodin Haiti mengatakan Tentara Nasional Indonesia boleh menindak orang-orang yang menggunakan atribut berbau komunisme.
"Siapa saja yang menangkap tangan orang-orang itu, boleh melakukan penangkapan," kata Badrodin di Markas Besar Polri, Jakarta, Senin (16/5/2016).
Namun, Badrodin memberikan catatan. Setelah menangkap, tentara harus menyerahkan pengguna atribut tersebut ke kepolisian.
"Kami sudah sampaikan, kami mengedepankan penyelidikan dan deteksi sehingga tidak meresahkan masyarakat," tuturnya.(***)
Source; CNNIndonesia
0 komentar:
Posting Komentar