![]() |
Banjir bandang di Desa Sintuvu Kecamatan Palolo Kabupaten Sigi, membawa material batangan kayu yang diduga karena perambahan hutan. (Foto: Iphul) |
"Bencana alam itu bukan hanya akiat fenomena alam, tetapi juga karena hutan di sekitarnya banyak berubah fungsi akibat dibabat untuk dijadikan kebun," kata Camat Palolo, Pakulla Paulus di Desa Sintuwu, Kecamatan Palolo, Kamis (19/5/2016).
Buktinya, kata dia banjir bandang membawa potongan-potongan kayu yang diduga adalah hasil penebangan oleh masyarakat di hutan sekitarnya.
Karena itu, sebagai pemerintah kecamatan cukup prihatin dan berharap masyarakat bukan hanya di sekitar Desa Sintuwu yang kebetulan terkena bencana alam, tetapi juga desa-desa lain untuk tidak lagi membuka lahan kebun dengan membabat hutan.
"Saya minta masyarakat tidak lagi menebang hutan untuk kepentingan lahan kebun karena hal itu akan merugikan diri sendiri dan orang lain," katanya.
Menurut dia, bencana alam yang baru saja memporak-porandakan permukiman warga dan areal perkebunan kakao dan tanaman lainnya karena faktor curah hujan yang tinggi di wilayah itu, tetapi juga karena hutannya sudah rusak.
Kalau hutan sudah rusak, otomatis terjadi erosi karena tidak ada lagi pepohonan yang berfungsi sebagai penahan banjir. "Karena itu mari kita berkaca dari bencana ini agar ke depan kita tidak lagi mengalami bencana yang sama," imbau Camat Pakulla.
Hal senada juga diungkapkan Anggota DPRD Provinsi Sulteng, Matindas J Rumambi di Palu.
"Indikasinya banyak batang kayu yang hanyut bersamaan dengan lumpur," kata Sekretaris DPD PDI Perjuangan itu.
Politisi PDI Perjuangan itu juga menduga ada hubungannya dengan aktivitas penambangan rakyat di sekitar kawasan itu.
"Kalau benar dugaan ini, sungguh sangat kita sayangkan. Kita semua kena dampaknya," katanya.
Dia mengatakan Komisi IV DPRD Sulawesi Tengah rencananya akan turun ke lokasi banjir untuk melihat kondisi di lapangan terkait sebab-sebab dugaan terjadinya banjir disertai lumpur dan kayu gelondongan tersebut.
Matindas mengatakan wilayah tersebut merupakan objek vital karena berada di dekat kawasan hutan lindung Taman Nasional Lore Lindu.
Kawasan tersebut merupakan paru-paru dunia dan sumber kehidupan masyarakat di Lembah Palu, Sigi dan Donggala.
"Kalau kawasan itu tidak dijaga, saya kuatir 25 tahun ke depan kita tidak punya sumber air lagi," katanya.
Ia mengatakan, pemerintah daerah berkewajiban melindungi kawasan tersebut sehingga perlu pengawasan dari aparat maupun masyarakat itu sendiri.
"Kita juga harus mendorong pengawasan partisipatif oleh masyarakat setempat supaya ini terjaga," katanya.
Data dari Taman Nasional Lore Lindu (TNLL) menyebutkan banyak desa di wilayah Kecamatan Palolo dan Nokilalaki berbatasan langsung dengan kawasan Taman Nasional. Ada sekitar 74 desa di Kabupaten Sigi dan Poso yang berbatasan dengan kawasan Taman Nasional itu sehingga rawan terjadi gangguan, termasuk diantara perambahan untuk kepentingan lahan kebun masyarakat.(***)
Source; Antara
0 komentar:
Posting Komentar