Ilustrasi |
Tujuannya untuk mencegah kerusakan hutan dan lingkungan berkelanjutan.
"Saat ini sering terjadi banjir dan longsor di Morowali, itu diduga dipicu kegiatan tambang tidak ramah lingkungan," kata Mahfud yang dilansir antarasulteng.com.
Dia mengatakan, banyak perusahaan meninggalkan area lokasi tambang begitu saja setelah pemberlakuan Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Nomor 1 tahun 2014.
Peraturan yang berlaku pada Januari 2014 itu melarang perusahaan tambang mengekpor barang tambang dalam keadaan mentah tetapi harus diolah dulu di unit peleburan (smelter).
Saat ini perusahaan tambang yang tidak memiliki banyak modal dan tidak mampu membuat smelter angkat kaki dari Kabupaten Morowali dengan meninggalkan area bekas pertambangan.
Banyak lahan bekas galian tanah yang digenangi air sehingga membuat daerah sekitarnya rawan banjir dan longsor di saat musim hujan.
"Bahkan air hingga sampai ke jalan raya seperti saat banjir bandang beberapa waktu lalu," katanya.
Mahfud juga mendesak pemerintah agar memberikan sanksi tegas kepada perusahaan nakal tersebut berupa pencabutan ijin usaha pertambangan atau memasukkannya ke dalam daftar hitam.
Menurut dia, hal itu penting demi kelestarian hutan dan lingkungan serta memastikan adanya jaminan reklamasi pascatambang.
Namun demikian, dia mengaku heran kepada pemerintah Kabupaten Morowali yang tidak memiliki data lengkap tentang perusahaan yang telah hengkang itu.
Di Kabupaten Morowali sendiri telah diterbitkan sekitar 200 ijin usaha pertambangan sejak 2009, dan di antaranya tumpang tindih.
Dari sekian banyak perusahaan itu, hanya tiga perusahaan yang mampu membangun smelter untuk melanjutkan usahanya. (ant)
0 komentar:
Posting Komentar