![]() |
Ilustrasi |
Jurnalsulteng.com- Pelaku kekerasan terutama seksual, menurut psikolog Livia Iskandar, masih didominasi laki-laki. Ia mencatat, sebanyak 90 persen pelaku kekerasan adalah laki-laki. Mereka merasa punya alasan melakukannya pada perempuan.
"Para pelaku yang merupakan laki-laki ini merasa memiliki hak apa pun kepada perempuan karena dia laki-laki. Mereka dibesarkan oleh keluarga yang menomorsatukan laki-laki dan menempatkan perempuan di bawah laki-laki," kata Livia Iskandar yang dilansir CNNIndonesia.com.
Lelaki yang tumbuh dalam lingkungan yang terlalu patriarki, menganggap bahwa pria adalah gender utama, menjadi superior saat dewasa. Mereka cenderung kasar terhadap siapa pun, terutama pada perempuan.
Budaya juga dapat menjadi salah satu penyebab tumbuhnya peringai kekerasan pada laki-laki. Pada adat tertentu, Livia menemukan adanya anggapan bahwa mas kawin artinya tanda perempuan menjadi hak milik suami. Dengan kata lain, perempuan tidak lebih dianggap seperti barang.
"Pada masyarakat golongan menengah ke atas, semakin tinggi pendidikannya, peluang kekerasan fisik akan menurun. Namun kekerasan psikis justru lebih tinggi. Misalnya, membuat istri tidak berdaya dan sangat bergantung pada suami," kata Livia.
Jika sudah ketergantungan, peluang suami melakukan tindakan sewenang-wenang pada istrinya menjadi lebih tinggi. Salah satu ciri suami yang membuat tergantung adalah sikapnya yang terlalu posesif berlebihan.
"Ada beberapa hal yang seharusnya sudah menjadi alarm dalam diri perempuan. Salah satunya kalau pasangan sudah posesif berlebihan seperti harus menjadi satu-satunya pusat perhatian," kata Livia menyebutkan.
Ia menyarankan, perempuan sebaiknya tidak menganggap dirinya bisa mengubah sifat laki-laki yang sudah kasar. "Kalau di keluarga pasangan sudah ada riwayat kekerasan, maka harus waspada. Karena 90 persen kebahagiaan hidup dipengaruhi siapa yang akan dipilih menjadi pasangan hidup," tutur Livia lagi.(***)
Source; CNNIndonesia
0 komentar:
Posting Komentar